05.2 : Kita Pasti Akan Baik-Baik Saja

216 70 2
                                    

Aroma petrikor yang perlahan menipis berganti dengan renyah mentari yang mulai kembali bersinar.

Keduanya bungkam. Levi menatap Hange dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Sedangkan gadis itu mengulas senyum tipis.

Tungkainya melangkah, mengabaikan noda lumpur yang menempel pada sepatunya. Ia menarik Levi mendekat ke arah semak-semak di dekat lapangan yang memiliki pagar pembatas besi yang menjulang tinggi.

Rel kereta tampak menyisakan genangan air sisa hujan pagi ini. Hange mendongak, menatap teriknya mentari dan tersenyum lebar.

"Kamu tahu? Ketika Ibuku pergi bekerja aku selalu merasa kesepian. Walaupun aku bertengkar denganmu atau ditemani oleh Bibi Kuchel, tetap saja aku merasa kesepian." ujar Hange, ia menatap Levi yang berdiri di sampingnya.

"Apa malam itu kamu juga merasa sama? Walaupun Paman Kenny dan Bibi Erisa ada di sana, kamu merasa sepi sebab Ibumu tidak sadarkan diri, bukan?" sambungnya.

Levi menatap Hange. Sudut hatinya berdenyut nyeri entah mengapa. Ia tidak tahu suasana apa yang ada di antara mereka kini.

"Heum, sangat sepi. Hingga aku merasa takut jika harus ditinggalkan sendiri." gumam Levi, ia menunduk dalam, memperhatikan noda lumpur di ujung celana pendeknya.

Hening melanda beberapa saat sampai Hange tiba-tiba saja menunduk dan membuka salah satu sepatunya, kemudian melemparkannya ke arah semak-semak.

Lalu, ia berlagak seperti orang yang bangga telah melakukan hal konyol tadi. Ia tersenyum lebar, menepuk dadanya seperti seorang jagoan.

"Lihat! Sepatu kesayanganku hilang satu! Tapi, aku baik-baik saja!"

"Kamu sengaja melemparnya, itu bukan hilang."

"Anggap saja begitu, Pendek!"

Hange mendengkus kesal, ia mendecih memandang wajah polos tak bersalah Levi. Kemudian, ia menatap ke depan. Wajahnya berubah serius, di terpa oleh mentari siang yang berwarna orange pekat.

"Walaupun sesuatu pergi atau hilang dari kita, apapun yang terjadi, kita pasti akan baik-baik saja. Karena, kita semua hidup dengan cara meninggalkan atau di tinggalkan. Itulah yang ibuku katakan padaku saat aku mengeluh, jadi jangan marah pada sesuatu yang kau takutkan, Levi. Hadapi itu dan cobalah untuk memahami cara kerja hidup ini."

Angin berhembus. Menerbangkan aroma pekat Musim Gugur yang basah. Helai rambut mereka seolah menari mengikuti irama angin yang turut serta menggugurkan dedaunan di atas pohon.

Levi bergeming, siang di kala terik, Hanji tampak berkilau.

"Ibumu mengatakan sesuatu yang indah.." ucap Levi, ia mengulas senyum.

Di balas cengiran khas dari Hanji, "Heum! Ibuku memang senang mengatakan hal yang indah!"

"Tapi.."

"Tapi?"

"Kau tahu? Kau tampak lebih bodoh dengan sepatu yang hilang sebelah."

Hanji tersentak, ia baru sadar kalau tadi melempar sepatunya terlalu bersemangat. Sedangkan Levi, ia berusaha menahan tawa ketika wajah Hanji mulai menampakkan raut frustasi.

Dengan merengek, gadis itu berlari ke arah semak-semak dan mencari seperti orang kesurupan. Tawa Levi pecah, ia sampai memegangi perutnya karena merasa Hanji terlalu bodoh.

"Yak! Seharusnya bantu aku! Jangan hanya tertawa, Levi!!"

"Ahahahahahahah!!!!"

---

Malamnya, aroma sup menguar begitu harum dari dapur kecil keluarga Ackerman. Levi sudah duduk manis di meja makan ketika Kuchel keluar dari dapur bersama dengan dua mangkuk sup wortel kesukaannya.

Levi memperhatikan tangan kurus sang Ibu, kemudian beralih menatap wajah yang tampak sehat di banding malam itu. Ia mengulum bibir.

"Ibu!" panggilnya. Kuchel mendongak, menghentikan kegiatan makan malam yang berlangsung.

"Ya?"

"Habiskanlah waktu bersamaku! Aku mau menghabiskan banyak waktu denganmu, bu!"

Hening. Kuchel terdiam dengan simpul tipis di bibirnya, "Kita selalu bersama sepanjang hari."

Levi tersentak, ia menggeleng ribut dan berdiri kemudian menghela napas berat.

"Maksudku, habiskanlah waktu denganku sebagai Ibu dan Anak! Aku akan membantu Ibu membersihkan rumah mulai besok!"

Simpul berganti menjadi senyum hangat penuh cinta. Tangan lentik yang pertama kali meminangnya sewaktu lahir terangkat, mengusap penuh cinta surai sekelam jelaga milik Levi.

"Terima kasih, ya, Levi."

Malam itu, rintihan hujan di luar sana begitu deras. Namun, entah mengapa malam yang panjang terasa lebih hangat dari biasanya.

Haiiro to Ao [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang