Di dalam taksi yang melaju di Kota ramai ini. Sementara bersandar ke belakang, aku bersin. Memandang keluar jendela, menatap ramainya jalan yang dahulu hanya di penuhi langkah kecil kita.
Debaran di hatiku pada saat ini, membuatku ingin bertemu denganmu sekali lagi. Tak ada yang pernah ku lupakan.
Apakah sekarang kamu masih sama seperti saat itu? Mencari sepatu yang kau lempar ke dalam semak-semak.
'Apapun yang terjadi kita pasti akan baik-baik saja.'
Aku pun ingat hari di saat kita tersenyum polos.
---
Semua orang nyaman karena terbiasa. Takut di keramaian karena sudah terbiasa pada rasa sunyi, takut pada gelap karena selalu terbiasa dengan bias yang terang. Takut pada kesepian karena memiliki seseorang yang selalu berada di sisimu.
Namun, ketika seseorang itu pergi dan rasa sepi menyergap mu. Apa yang akan kamu lakukan? Hal pertama yang akan kamu pertanyakan adalah apakah semuanya akan baik-baik saja?
Pagi di Musim Gugur mungkin sebuah mimpi buruk untuknya. Terduduk di keramaian, tapi semuanya terasa sunyi. Hujan begitu bising di luar sana, bisik-bisik sayup dan isak menemaninya. Namun, ia bertanya mengapa ia merasa sepi?
Levi mendongak, menatap bulir hujan yang menghantam jendela. Sekali lagi, memeluk lututnya erat. Ia tidak suka dengan suasana ini.
Pintu kamarnya terbuka, menampilkan Kenny yang sepertinya baru saja mengantar orang-orang itu pulang.
"Dia baik-baik saja. Hanya perlu istirahat, kanu tidak perlu khawatir. Bibi mu berlebihan sebab menangis seperti itu." jelas Kenny, ia duduk di tepi ranjang tepat di samping Levi.
Anak itu membuang wajah, enggan menatap sang Paman yang hanya bisa tersenyum maklum.
Semalam, Kuchel jatuh pingsan setelah muntah darah. Levi harus menyaksikan bagaimana Ibunya menahan sakit semalam suntuk hingga Dokter bisa tiba ke rumah mereka. Hujan deras semalam menjadi penyebabnya.
Dan pagi ini, entah dari mana datangnya kabar itu. Semua tetangga mengira di kediaman mereka ada yang meninggal.
"Kuchel mencarimu sejak ia siuman. Kenapa tidak mau ke bawah?" tanya Kenny, ia memperhatikan mainan yang berjejer di meja belajar Levi. Semua itu rakitan tangan.
"Aku tidak suka mereka."
"Para tetangga? Mereka mendapat kabar bohong, kenapa harus marah?"
"Aku tidak marah! Tapi, aku tidak suka suasananya!"
Hening. Levi mendengkus kesal, ia memilih menyembunyikan diri di balik selimut dan memunggungi Kenny. Pria berwajah lancip itu hanya bisa menghela napas gusar.
Ia memilih meninggalkan kamar tanpa mengatakan apapun lagi, membiarkan si kecil Ackerman melakukan apa yang dia inginkan. Lagipula, ini pertama kalinya ia melihat keadaan sebenarnya dari Kuchel.
---
Seminggu berlalu sejak kejadian itu. Levi sama sekali enggan menatap wajah sang Ibu, bahkan bicara pun ia jarang. Anak itu hanya diam akhir-akhir ini, bicara seperlunya, dan bermain seolah menjadi kesibukan.
Sama seperti siang ini, hujan baru saja redah. Levi berlari menuruni tangga, melewati Kuchel begitu saja. Namun, saat hendak membuka pintu suara Kuchel menginterupsinya agar berhenti.
"Levi ... " panggilnya lemah. Ia menaruh keranjang pakaian di atas sofa lapuk, hendak mendekat tapi dengan cepat Levi pergi.
Tak ada yang tahu apa isi kepala bocah itu sekarang. Bahkan, teman-teman sebayanya tak ada yang berani mendekat ketika melihat wajah murung Levi yang bermain tanah basah di belakang gedung sekolah. Kecuali, Hange.
Dimana gadis itu kini ikut berjongkok dan meraih lidi dari tangan Levi. Bocah itu tersentak, tapi kemudian kembali menatap tanah yang ia maini barusan dengan wajah datar.
Hange menggerutu. Ia kembali berdiri dan menginjak tanah di hadapan Levi sampai bocah itu mendongak dan menatapnya kesal. Wajah Levi kini penuh lumpur.
"Apa maumu?!"
"Seharusnya aku yang tanya! Apa maumu?! Kenapa mengabaikan Bibi Kuchel tadi?!"
Si bocah bungkam, ia membuang tatap pada tumpukan sampah di sebelah kanan. Tampak menjijikkan setelah tersapu hujan, sama seperti wajahnya saat ini.
"Dari mana kamu tahu?"
"Bodoh! Aku ada di dapur saat kamu mengabaikan Bibi!" jawab Hange kesal, ia melempar lidi itu sebagai pertanda bahwa ia benar-benar kesal sekarang.
Pasalnya, bukan hanya Kuchel yang di diamkan oleh Levi. Tapi, dirinya juga dan semua orang. Bahkan ketika di tanya oleh Guru, matanya hanya berkedip lalu ia bungkam sampai pulang sekolah. Bukankah Levi sinting!?
"Kalau kamu marah itu yang jelas, Levi! Kenapa kamu marah pada Bibi?"
"Bisakah kamu diam?"
"Tidak bisa! Aku tidak bisa diam! Kamu mengabaikan semuanya dan memasang wajah murung! Lagipula kenapa kamu harus marah jika Ibumu sakit?!"
"Diamlah."
"Bibi mengkhawatirkan mu, Levi! Bisakah kamu tidak menjadi anak nakal sehari saja!??"
Batu kerikil melayang tepat di samping wajah Hange. Berakhir mendarat tepat di kubangan lumpur dan membuat baju keduanya kotor.
"Apa kamu juga bisa mengerti kalau aku merasa takut jika melihat Ibuku?! Apa kamu tidak tahu bagaimana aku berusaha melupakan saat darah keluar begitu banyak dari mulut dan hidungnya!? Apa kamu bisa mengerti!?"
Napas Levi tersenggal, ia mengepalkan tangannya kesal. Wajahnya memerah menahan amarah, ini adalah pertama kalinya ia dan Hange bertengkar seperti ini.
Sedangkan gadis itu bungkam. Ia terkejut dengan lemparan Levi yang nyaris mengenainya. Tapi, kemudian ia menghela napas, berjalan mendekat ke arah Levi, kemudian dengan hati-hati menggenggam kedua tangan Levi yang terkepal.
"Levi ... "
" ... "
"Apa kamu takut Ibu mu meninggalkanmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Haiiro to Ao [√]
Hayran Kurgu"Apakah sekarang kamu masih sama seperti saat itu?" Setelah beranjak dewasa, Levi mengingat kembali momen masa kecilnya di Kota kecil yang kumuh. Bersama dengan Hange Zoe, sahabat sekaligus cinta pertamanya yang tidak pernah terungkapkan. Di tengah...