Sejak dulu, Levi adalah anak yang pendiam. Pertama kali masuk ke sekolah, bocah itu duduk di bangku belakang dengan wajah yang terus menatap keluar jendela.
Banyak rumor yang mengatakan kalau dia lahir tanpa seorang Ayah, makanya para orang tua melarang anak-anak mereka bermain dengannya.
Tapi, ada satu anak ketika kelas Musim Panas dimulai, ia menjadi orang pertama yang mengajaknya berbicara.
"Permisi, apa aku boleh duduk di dekatmu?"
Dia gadis kecil dengan rambut berantakan juga kaca mata kotak yang bertengger di hidung kecilnya. Itu adalah kali pertama mereka bertemu.
Angin berhembus, menerbangkan helai rambut menari mengikuti iramanya. Levi bangkit, memeluk kedua lututnya dan menatap salju yang tebal di bawah mereka.
"Hanya kamu yang mau bermain denganku, sejak hari itu aku merasa walaupun aku tidak punya Ayah, tapi aku juga bisa menjadi seorang teman untuk orang lain." ujar Levi, ia melirik Hange yang juga ikut bangkit dari berbaringnya.
Keduanya saling memeluk lutut, wajah mereka murung. Kemarin sore, ketika Ibu Hange pulang bekerja, ia mengatakan bahwa mereka akan pindah ke Kota Shiganshina. Itu di karenakan Ayah Hanji dan Ibunya kembali berbaikan. Mereka tidak perlu lagi tinggal di Kota Bawah dan Ibunya tidak perlu lagi bekerja di Kota Rose untuk biaya hidup mereka.
"Maafkan aku," gumam Hange merasa bersalah, ia menatap Levi.
Entah mengapa, kedua matanya berkaca-kaca. Ada sesuatu yang seolah menyuruh ia menangis saat ini.
"Levi, kalau kamu mau aku tidak akan ikut Mama." ujar Hange, air matanya sudah merembes keluar dengan cairan hidung yang mulai meler.
Levi berbalik, ia ikut cemberut dengan kedua bibir yang bergetar menahan tangis. Ia menggeleng ribut kemudian mengangguk lalu menggeleng lagi. Hal itu membuat tangis Hange kian pecah.
"Huwaaa!! Jadi kamu mau aku ikut Mama atau tidaaaak??? Huwaaa!!"
"Huwaaaa! Kacamata Gila!"
---
Malamnya, Hange memperhatikan punggung kecil sang Ibu. Ibunya itu tengah sibuk mencatat sesuatu di atas kertas.
"Mama ... " panggilnya pelan. Yang dipanggil berbalik, menatap lembut putri kecilnya yang berbalut pakaian hangat. Hange tampak lebih rapih dan bersih dari biasanya.
"Oh? Kamu belum tidur, ya? Mau membantu Mama?"
Hange di tarik mendekat, gadis kecil itu mengangguk dan duduk manis di samping kanan Ibunya. Ia melihat catatan di atas meja, ternyata itu adalah daftar yang mereka butuhkan untuk ke Shiganshina bulan depan.
Tapi, sore tadi ia sudah berjanji dengan Levi ia akan memberi tahu Ibunya bahwa ia bisa tinggal bersama Levi di kediaman Ackerman.
Baru saja hendak bersuara, pintu rumah diketuk dari luar dengan brutal. Keduanya bangkit setelah mendengar suara si pengetuk. Levi berdiri dengan wajah sembab karena menangis dan tubuh yang gemetar.
"Ada apa!?"
"Hiks ... Ibuku ... Tolong ... "
----
Di pagi hari yang dingin, dengan salju yang memenuhi seluruh penjuru, Levi kehilangan Ibunya. Kuchel menghembuskan napas terakhirnya sesaat setelah batuk darah yang banyak. Tidak ada kata perpisahan ataupun senyuman, Levi melihat Ibunya tiada dengan cara yang menyakitkan.
Pemakaman berjalan khidmat. Levi pulang bersama dengan keluarga Hange dan Pamannya Kenny. Ibu Hange memilih menenangkan keluarga besar Ackerman, sedangkan Hange ia memilih berdiri di hadapan Levi yang masih menangis di pojok ruangan sembari memeluk lututnya.
Bocah itu tidak mengeluarkan suara tapi, Hange tahu Levi menangis sebab kedua bahu kecil itu bergetar hebat.
Hange berjongkok, mengabaikan lantai kayu yang berdecit juga angin ribut yang menantang jendela dari luar sana. Tangannya terangkat, menyentuh surai sekelam jelaga yang basah karena salju. Hange merapikan beberapa anak rambut sebelum duduk di samping Levi dan bersandar.
"Levi ... Kamu akan terus menangis?"
Tidak ada jawaban. Hange menggigit bibirnya, mencoba menahan tangisnya juga. Dengan kasar ia mengusap kedua matanya ketika cairan bening itu nyaris tumpah.
"Bibi Kuchel akan memarahi mu jika kamu terus menangis! Ayo, bicaralah padaku!" ucap Hange, ia sengaja menyenggol bahu Levi agar bocah itu merasa kesal.
Namun, respon yang ia dapatkan hanya berupa hening. Hange ikut terdiam, tatapannya berubah sendu.
"Pasti, rasanya sulit, 'kan? Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu saat ini, tapu melihatmu menangis, itu membuat dadaku sakit."
Tangan Hange terangkat meremat dada kirinya, berusaha menahan air matanya untuk tidak mengalir. Keduanya sama-sama terdiam, saling menyelami pemikiran masing-masing.
Sampai, Levi mengangkat wajah. Ia menatap Hange datar dengan wajahnya yang sembab, si gadis baru saja hendak bersuara sebelum Levi memotong ucapannya.
"Lev --- "
"Kenapa? Kenapa kamu masih ada di sini?"
Manik kelabu yang biasanya membiaskan secercah sinar rembulan, kini tampak mendung. Menatap tajam pada Hange yang bergeming dengan wajah terkejut.
"A-apa maksudmu?"
"Kamu juga akan pergi, 'kan? Seperti Ibuku. Pergi ke tempat jauh yang tidak bisa aku gapai. Walau aku berusaha, walau aku ingin menahan kalian, itu hanya akan berakhir seperti mengejar bayangan yang tidak ada artinya."
Malam itu, bias rembulan yang biru di kedua mata Levi berubah menjadi monokrom. Seperti kelamnya siang yang hadir tanpa ditemani oleh mentari.
---
Hi:)
Kembali lagi dengan update dua chapter setelah ngilang dua minggu:v
Abaikan typo yg bertebaran dan smoga kalian masih betah di lapak ini yup:v
Jaga kesehatan selalu, ya! PPKM masih berlanjut, kita jangan ngeyel biar pandemi bsa berakhir dan Nuii bisa dapet kerja secepatnya:(
Oke, salam cingtah dari adeknya Mas Erwin:v
KAMU SEDANG MEMBACA
Haiiro to Ao [√]
Fiksi Penggemar"Apakah sekarang kamu masih sama seperti saat itu?" Setelah beranjak dewasa, Levi mengingat kembali momen masa kecilnya di Kota kecil yang kumuh. Bersama dengan Hange Zoe, sahabat sekaligus cinta pertamanya yang tidak pernah terungkapkan. Di tengah...