06 : Senja

195 70 4
                                    

"Sudah lama menunggu?"

Levi tersentak, ia menatap gadis yang baru saja datang. Ia tersenyum dan mempersilahkan gadis itu duduk.

"Sekitar sepuluh menit yang lalu. Aku yang datang terlalu cepat." ucap Levi.

"Ah, aku terlambat dua menit. Ada sesuatu yang harus aku siapkan, ini pertemuan terakhir kita, bukan? Juga, hujan hari ini sedikit membuat jalanan macet."

Anggukan menjadi jawaban. Levi memperhatikan dengan seksama penampilan gadis di hadapannya, tampak manis dengan polesan make up tipis. Gaun merah muda yang ia kenakan sangat cocok dengan warna rambutnya. Dan di balik senyum manis itu, tersimpan sosok hebat yang begitu jenius.

"Kamu tampak cantik hari ini, Petra." puji Levi, ia meraih jemari yang tampaknya sengaja di biarkan di atas meja. Petra yang di puji tersenyum dengan semu merah muda di wajah, sesuatu yang kini membuat debar di dada muncul.

Padahal, dulu sesuatu itu jauh berbeda dengan apa yang ia lihat kini. Jauh lebih special, sebab ia adalah yang pertama.

"Setelah makan, apa kamu mau kencan?"

"Hm, tentu saja."

Levi mengangguk dengan senyuman. Ia baru saja hendak memanggil seorang pelayan, namun, salah satu pelayan sudah berada di sampingnya dengan secarik kertas.

"Ini untuk anda, Pak."

"Ah, untukku?"

"Iya, seseorang menyuruh saya memberikannya pada anda."

"Oh, ya. Petra, sebentar ya."

Levi menerima secarik kertas itu dan menatapnya heran. Namun, ketika ia membuka dan membaca tulisan di sana,  kedua mata yang selalu tampak seperti orang mengantuk itu melebar.

Dengan gerakan cepat, Levi bangkit dan menyisir seluruh ruangan dengan manik kelabunya. Mencari seseorang yang mengirimkannya kertas berisi kalimat yang begitu familiar ini.

Sampai, matanya menangkap sosok itu. Berdiri tak jauh dari meja kasir dengan senyuman yang begitu khas. Tubuh yang sejak dulu lebih tinggi darinya tampak lebih tinggi sejak terakhir kali Levi bisa mengingatnya.

Tapi, seberapa besar pun perubahan tingginya, ada sesuatu yang tak akan pernah berubah.

Senja di kala Musim Gugur, Levi melihat mentari bersinar di antara riuhnya hujan yang bergemuruh. Manik sienna miliknya masih berkilau.

"Hange?"

---

Canggung. Itulah yang terjadi saat ini, Levi berulang kali menelan saliva untuk menetralkan laju jantungnya.

Kencan malam ini terpaksa di batalkan, Petra pulang dengan senyuman terpaksa saat tahu kekasihnya lebih memilih reuni bersama kawan lama.

"Ah, kafenya tempat yang cocok untuk berkencan." celutuk Hange, gadis dengan kuncir kuda dan kaca mata kotak yang khas itu merenggangkan tubuh. Pengalihan dari suasana canggung yang membelenggu.

Ia melirik Levi yang sepertinya memberi reaksi terkejut. Ia tersenyum maklum, dua puluh dua tahun tidak pernah bertemu atau bertukar kabar, pasti akan terasa sangat canggung. Tapi, dia adalah Hange, gadis kecil yang kini tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik.

"Ada apa? Kamu masih canggung, ya? Kamu lebih tampak seperti remaja baru puber dari pada pria berusia tiga puluh dua tahun." ujar Hanji.

Hange tertawa ketika Levi akhirnya mendengkus. Sepertinya, sikap buruknya itu belum berubah.

"Kamu tidak banyak berubah. Ku pikir hanya tinggimu saja?"

"Ya, dan aku tampak lebih sangat tinggi dari mu?"

Levi menggerling malas, Hange sepertinya masih suka mengejek tinggi orang. Kemudian, keduanya tertawa bersama dan hening beberapa saat. Sampai Levi membuka kembali obrolan.

"Bagaimana kabar mu?" tanya Levi

"Seperti yang kamu lihat. Aku sangat baik dan menyukai pekerjaanku di kampus sebagai salah satu Profesor di sana, tinggal di Ibu Kota mempengaruhi suasana hati." jawab Hange.

Dua cangkir minuman hangat datang tidak lama kemudian. Kopi hitam dan Teh Hijau dengan uap yang menggepul di masing-masing cangkir keduanya.

"Aku tidak menyangka kamu akan menjadi Profesor, Hange." ucap Levi, ia meneguk teh miliknya sembari memperhatikan bagaimana cara Hange merapihkan poni. Levi menemukan sesuatu yang berbeda, Hange kini lebih tampak seperti wanita. Apa karena mereka sudah dewasa?

"Aku lebih pintar dari mu, sejak dulu nilai kita hanya selisih dua point, bukan?" ucap Hange kemudian meneguk kopinya, wajahnya berkerut sebab rasa pahit dan asam yang bercampur tapi kemudian ia tersenyum.

Senyuman yang mampu membuat Levi terdiam. Sama sekali tidak berubah sejak terakhir kali mereka bertemu, senyuman Hange masih memancarkan cahaya yang menyilaukan.

Levi mengangguk, ia mengalihkan pandangan pada beberapa furniture lucu di Kafe tersebut. Membuka obrolan baru dengan membicarakan perihal masa lalu mereka. Kemudian, ia memilih diam dan mendengar ocehan Hange yang bersemangat. Menelaah beberapa perbedaan kecil seperti cara bicara juga nada suara, atau ekspresi Hange yang terkadang berubah mengikuti intonasi suaranya.

Semua itu direkam jelas oleh lensa Levi. Kembali membiarkan diri dan hatinya dibuai kenangan masa lalu yang tidak bisa ia lupakan.

Musim Gugur dengan hujan yang menderuh, Levi menemukan hangat di dalam dekap obrolan mereka malam itu. Hingga tidak memperhatikan cincin yang melingkar di jari manis Hange.

----

- Tertanda adik kiyotnya Aa' Sakuta(〃゚3゚〃)

Haiiro to Ao [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang