PASSE'|7

4.9K 754 39
                                    

Nggak minta apa-apa, minta tarik napas dulu sebelum baca...

"Dek, lihat jam tangan Mas yang semalam di lepas sebelum ke Babershop?"

Suara Mas Arka terdengar jauh, tapi cukup menarik kesadaranku dari tatapan layar ponsel miliknya.

"Sebentar," suaraku terdengar bergetar karena mungkin aku masih terlalu keget dengan pesan dari perempuan bernama Devina. Aku nggak begitu hapal tentang teman kantor Mas Arka atau mungkin beberapa teman, karena aku nggak pernah di kenalkan, jadi melihat pesan muncul dengan panggilan tanpa "Mas" bukankah jelas dia bukan orang yang baru mengenal Mas Arka.

Begitu aku masuk ke dalam kamar, Mas Arka tampak membuka laci kerjanya, kebingungan mencari arloji yang semalam dia tinggal di ruang tamu karena buru-buru ke Babershop karena aku mengancam nggak akan mau tidur dengannya jika warna rambutnya nggak berubah.

Terkesan berlebihan mungkin, hanya saja aku nggak bisa menahan diri lebih lama untuk sabar melihat suamiku bergaya seperti itu.

Aku membuka rak penyimpanan jam tangan dan aksesoris kami, lalu mengambil arloji yang di maksud Mas Arka.

"Yang ini?"

Helaan napas keras kemudian terdengar, diiringi langkah Mas Arka yang mendekat padaku.

"Kayaknya tadi cari di situ nggak ada," kekehnya sembari mengambil jam tangan yang kusodorkan lalu memakainya.

Sudah kebiasaanya kesusahan mencari barang pribadi miliknya sendiri. Barang kali itu yang membuatku selalu khawatir selama aku di Jogja. Padahal dia sudah terbiasa mandiri, hanya belakangan ini Mas Arka menjadi sering pelupa.

"Jangan Gendong anaknya, Arsya nggak pakai diapers," ucapku begitu melihat Mas Arka hendak mengendong Arsya.

Tapi sepertinya dia keras kepala, kini malah mengendong Arsya dalam dekapannya sembari berusaha membangunkannya.

"Bangun, Nak. Jangan tidur terus, nanti aja tidurnya agak siang sama Ayah."

Aku hanya mengelengkan kepala melihat Mas Arka tidak mau menyerah membuat Arsyabangun.

"Nanti juga bangun Mas. Kan, dia baru tidur tadi sehabis subuh."

Arsya memang lawan Bening perihal tidur. Arsya malam hari akan terjaga dan siangnya tidur. Sedang Bening siang dia kan bangun dan malamnya jarang bangun kecuali ketika mau ASI.

"Mas?"

Begitu Mas Arka kembali meletakan Arsya, dia menoleh padaku dengan raut wajah bertanya.

"Mas ada rencana kemana habis meeting? Mau makan siang di rumah atau__"

"Biasanya sih makan siang bareng di kantor, jadi masaknya buat kamu aja ya, sore nanti kita delivery aja."

Entah ucapan Mas Arka di bagian mana yang membuatku kecewa. Entah karena dia mengatakan hendak makan siang di luar padahal aku kangen masakin dia, atau karena sore nanti dia memilih memesan makanan.

Tanpa menjawab apapun, aku memilih mengangguk saja. Malas berdebat meski egoku memilih tetap masak untuk kami nanti.

***

Pukul dua siang Mas Arka sudah kembali ke rumah. Dia kemudian menyusul Arsya yang sedang kutidurkan di ruang belakang. Tempat ini yang menjadi kesukaanku bermain dengan Arsya, karena dari sini ada pintu yang langsung bisa terbuka dan terhubung dengan taman belakang rumah.

Aku suka udara di sini, sebab meski udara panas tapi tanaman dan rumput lantai membuat suasana lebih alami.

"Mas capek, ya?"

Mas Arka membuka sedikit matanya kemudian menarik tanganku agar ikut baring di samping Arsya dan Bening.
Tangannya menjangkau ku dan memeluk kami bertiga.

"Sedikit, ini lagi charge."

Aku terkekeh mendengar istilahnya memeluk kami. Dia selalu bilang, memelukku dan Arsya secara bersama, seperti mengisi energi.

Kini ditambah Bening.

Kita seperti keluarga bahagia yang memiliki dua anak laki-laki dan perempuan. Terlihat bahagia memang, akupun merasakan seperti itu, tapi aku nggak tahu bagaimana perasaan Mas Arka.

Akankah dia merasakan hal yang sama?
Atau mungkin dia justru merasa nggak nyaman. Terlebih saat aku membawa Bening ke Sini.

Aku takut jika Mas Arka nggak benar-benar setuju. Bagaimanapun Mas Arka pernah menjadi seseorang yang Kak Jasmine harapkan.

Getar panggilan ponsel membuatku bangun dan mengambil ponsel milik Mas Arka yang sedang di isi daya.

Namun sebuah nama mambuatku tanpa sadar meremas ponsel Mas Arka lebih kuat.

"Siapa, Dek?" tanyanya kemudian bangun.

"Devina," balasku sembari memberi ponsel Mas Arka.

Bertahan dalam situasi seperti ini memang kurang bagus, tapi aku ingin dengar apa yang mereka bicarakan.
Setidaknya agar mengurangi rasa curigaku pada suami sendiri.

Mas Arka kembali baring, dengan ponsel yang menempel di sisi wajahnya.

"Ya, Dev?"
Mendengar Mas Arka menyebut perempuan itu, hatiku seperti tercubit.
Cemburu ini berlebihan dan sejujurnya aku nggak suka. Hanya saja rasanya begitu nyata bahkan sekuat apa aku menolaknya.

Aku enggak tahu apa yang dia katakan selanjutnya, tapi sepertinya ajakan atau bantuan, karena Mas Arka terdengar menolaknya dan menyebutkan nama Damar--- sekertarisnya.

"Sory, saya udah di rumah. Nanti saya hubungi Damar biar bisa bantu kamu."

*Jangan dibully ya karena emang pendek banget part ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*Jangan dibully ya karena emang pendek banget part ini. Maaf untuk tipo

Love
Rum

P A S S E'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang