PASSE'|16

5K 757 57
                                    

"Ibu, maaf harus bikin Ibu repot, Anin titipin anak-anak."

"Nggak apa-apa, Anin. Ibu senang, kalian kan jarang berkunjung kalau nggak begini."

Aku memasang wajah tak enak pada Ibu, Mas Arka tetap pada pendiriannya menitipkan Arsya dan Bening selama kami pergi. Mbak Biah __Yang membantu kami di rumah__ memang sedang pulang karena Ibunya sakit. Jadilah kami harus merepotkan Ibu.

"Perginya yang lama, Anin udah lama nggak kamu ajak jalan selain belanja bulanan, Ka."

"Nginep di hotel, ya, Bu. Honeymoon lagi." Canda Mas Arka yang langsung ku hadiahi dengan cubitan di perutnya yang mulai bucit itu.

"Boleh, biar setengah lusin cucu Ibu," jawab Ibu diiringi tawa cantiknya.

"Nggak mau! Dua anak cukup," sahut Mas Arka tak terima.

"Ya kalau di kasih enggak apa-apa, Ka."

Nampaknya gurauan Ibu dianggap serius oleh Mas Arka, karena sepanjang perjalanan dia malah mengajakku berdebat perkara anak.

Aku dipihak Ibu, berharap suatu saat nanti kami diberikan momongan lagi. Tapi, Mas Arka bersikeras menolak pendapatku. Kejadian ini membuatku ingat dengan masalah kami dulu, tentang Mas Arka yang belum siap memiliki keturunan.

Setengah dari waktuku hamil, aku nyaris tidak pernah mendapat perhatian dari Mas Arka. Yang ada hampir setiap hari kami bertengkar.

Parahnya, ketika Arsya harus lahir prematur, Kondisinya sempat memburuk. Aku ingat betul ketika membuka mata dan bertemu Arsya dengan berat badan kurang dari normal.

Perasaan gagal itu jelas ada, aku terlalu egois karena sering mengajak Arsya menangis dan terus terpuruk. Ketakutanku ketika Arsya nanti besar dan menjadi pendiam sudah mulai kurasakan sejak sekarang.

"Tolong kamu jangan mikir aneh-aneh. Mas hanya nggak bisa lihat kamu tutup mata lama setelah melahirkan. Mas hampir gila waktu itu karena nggak bisa lakuin apapun."

"Itu kan artinya Mas nggak percaya sama aku."

Hembusan napas Mas Arka terdengar keras, karena sedari tadi aku nggak mau noleh ke dia yang sedang mengemudi.
Aku lebih memilih memperhatikan sekitar jalanan karena takut kalah dan akan menangis, "Bukan soal percaya atau engga, Nin. Ini murni karena Mas nggak bisa lihat kamu kenapa-kenapa."

"Nyatanya aku selamat kan, Mas?"

"Setelah kamu kritis kalau kamu lupa."

Ucapan Mas Arka membuatku menoleh padanya, ada perasaan kecewa yang langsung membuat moodku turun.

"Mas itu terlalu mendahului takdir. Kan, memang saat itu Bang Jay udah prediksi kemungkinan bayi kita lahir prematur, Mas. Yang penting aku sekarang selamat, Arsya juga sehat."

Cukup lama Mas Arka diam. Dia tidak mengatakan apapun lagi selain hembusan napasnya yang terdengar keras beberapa kali.

"Mas, trust me," Pintaku memelankan suara, aku ingin Arsya memiliki saudara kandung suatu saat nanti.

"Kamu tahu apa yang membuat Mas hancur sekali saat itu?" tanya Mas Arka dengan suara tak kalah lirih. Pandangannya masih lurus fokus pada jalanan, "Di saat kita sedang tidak baik-baik saja, kamu tahu rahasia di saat yang tidak tepat, lalu ketika kamu kritis aku nggak bisa melakukan apapun. Justru Jaya yang sedari awal tidak berhenti merapalkan doa sambil tangannya terus bergerak menyelamatkanmu."

Kali ini aku yang menelan salivaku, aku sama sekali tak tau perihal ini.

"Wajahnya memerah ketakutan tapi dia bisa nolongin kamu. Sementara aku, hanya bisa diam nunggu kamu di depan ruang operasi setelah perawat bilang ruangan kamu harus steril," lanjutnya kemudian, "Nin, untuk mencintai kamu saja aku merasa tidak pernah percaya diri."

P A S S E'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang