PULSE - 33

28.4K 2.3K 29
                                    

Sesya mematut sekali lagi penampilannya dicermin, celana panjang broken white yang ia padukan dengan sweater mustard dan rambut hitam legam yang ia biarkan tergerai begitu saja. Setelah merapihkan sedikit rambutnya gadis itu berjalan keluar kamar lalu menyambar totebag dan mengambil beberapa tumpuk lunch box sebelum akhirnya berjalan keluar rumah. Begitu dirinya selesai mengunci pintu lalu menuju pagar rumah. Dahinya mengernyit melihat Anjar yang baru saja menghentikan motor di depan rumahnya lalu berjalan menghampiri Sesya dengan senyuman diwajah.

"Anjar, lo udah balik?"

Selama beberapa hari ini Anjar memang tak ada di Jakarta, ia pulang kampung bersama keluarganya dikarenakan eyangnya meninggal dunia. Pria itu menganggukkan kepala. "Tadi malam gue sampai di Jakarta. Handphone gue rusak jadi gue enggak tahu info apa-apa."

"Paling juga udah beli yang baru, ya kan?" Sesya tersenyum.

Anjar tertawa. "Kata Mira Pak Regan kecelakaan karena nyelametin lo? Terus lo gimana?"

Seharusnya Anjar khawatir dengan kondisi Pak Regan sebab pria itu yang baru saja mengalami kecelakaan. Namun, begitu pertama kali mendengar informasi tersebut yang dikhawatirkan Anjar malah Sesya. Itu sebabnya hari ini ia langsung mendatangi rumah gadis itu untuk mengetahui kondisi Sesya padahal Mira sudah berulang kali mengatakan kalau Sesya baik-baik saja dan Pak Regan yang mengalami kecelakaan.

"Gue baik-baik aja. Mungkin kalau Pak Regan enggak dorong gue waktu itu, gue udah kenapa-napa sekarang."

Pria itu menghela nafas lega. "Syukur deh kalo gitu. Kondisi Pak Regan gimana?"

"Udah membaik kok, kemarin sore udah balik dari rumah sakit. Gue mau ke tempatnya sekarang."

Mata Anjar melirik lunch box yang dibawa Sesya. "Yaudah bareng gue aja, searah kan."

"Enggak usah lah. Gue pesen ojek online aja."

Kemudian Anjar menarik tangan Sesya. "Udah yuk buruan, Pak Regan pasti udah nungguin lo."

Setengah jam kemudian Sesya sudah tiba di apartemen Regan—tanpa Anjar tentunya karena ia hanya mengantar sampai depan gedung saja. Gadis itu berjalan keluar lift lalu menuju unit Regan yang memang sudah sangat ia hafal letaknya. Tangan Sesya terangkat menekan bel pintu, meskipun ia mengetahui password unit Regan ia lebih memilih untuk menekan bel. Padahal sebelumnya pun Regan sudah mengatakan untuk langsung masuk saja—tidak perlu menekan bel.

Tak lama berselang pintu terbuka menampilkan pria berkaos hitam yang langsung menyunggingkan senyuman untuk seseorang yang sudah ia tunggu-tunggu sejak tadi. Sesya melangkah masuk lalu meletakkan lunch box yang ia bawa di meja depan sofa. Kemudian dirinya ikut duduk di sofa samping Regan yang menarik tangannya. Gadis itu menatap wajah Regan yang sudah terlihat lebih segar—tidak lagi pucat seperti sebelumnya.

Ia benar-benar bersyukur Regan bisa pulih dengan cepat sehingga kemarin sore dokter sudah memperbolehkannya pulang. Sesya yang harus mengajar di tempat bimbel tidak bisa menemani Regan pulang dan berjanji akan datang hari ini—berhubung hari ini juga weekend. Awalnya Sesya pikir pria itu akan pulang ke rumah orang tuanya tetapi Regan memberi kabar kalau ia pulang ke apartemen.

"Kenapa enggak pulang ke rumah? Kan di sana ada banyak orang yang bisa bantu kamu."

Regan menyandarkan kepala disandaran sofa mencari posisi nyaman. "Aku lebih nyaman di sini. Selama di Jakarta dan belum dapat tempat tinggal Naya dan Dyo tinggal di rumah mamah. Aku kurang nyaman aja kalau harus tinggal bareng Naya."

"Kenapa mesti enggak nyaman?"

"Gitu lah pokoknya."

Sesya berdecak karena tak puas dengan jawaban Regan lalu mengubah posisi menjadi menghadap pria itu. "Mas."

Pulse [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang