Jam antik dan megah dengan ukiran indah yang berdiri di sudut ruang tengah rumah mewah keluarga Marvin menunjukan angka tujuh lewat lima belas menit.
Di ruang makan. Para asisten rumah tangga yang bertugas untuk memasak dan mempersiapkan makan malam, tengah sibuk menata beberapa menu di atas meja makan di mana Marvin berada.
"Makasih, Bi Sumi," ucap Marvin kepada asisten rumah tangga yang barusan mengambilkan nasi dan lauk untuk Marvin makan.
"Sama-sama, Den," jawab Bi Sumi, asisten terpercaya di keluarga ini. Dia juga termasuk orang yang selalu menemani dan mengasuh Marvin sejak kecil. Usianya sudah hampir setengah abad, namun ia masih setia untuk bekerja di keluarga ini, karena dia sudah tidak mempunyai satupun kelurga ataupun saudara lagi. Suami beliau sudah meninggal beberapa tahun lalu karena sakit parah, sedangkan anak-anaknya pergi meninggalkan beliau entah kemana.
"Ya, sudah, kalau begitu saya permisi ke dapur lagi, ya, Den." Marvin mengangguk, Bi Sumi pun kembali ke dapur untuk menyelesaikan tugasnya lagi.
Beberapa menit kemudian Ronald dan Widia datang , mereka duduk di kursi yang tersedia. Marvin hanya diam sambil menyelesaikan makannya, ia tak memperdulikan kedatangan kedua orang tuanya itu.
Widia tersenyum, Ia mengelus pundak putranya itu dengan perasaan gembira.
"Mama senang kamu mau balik kesini lagi, Marvin."
Marvin hanya diam, dia masih sibuk memainkan sendok dan garpu yang ia pegang. Setelah beberapa tahun yang lalu, tepatnya selepas kepergian Alfian, Marvin memang memutuskan untuk tinggal sendiri.
"Gimana sekolah kamu Marvin?" pertanyaan itu keluar dari mulut Ronald.
"Baik, Pah."
"Bagus kalau begitu, Papa yakin kamu tidak akan mengecewakan Papa, Marvin. Kamu adalah satu-satunya penerus Papa sekarang," ucap Ronald.
Marvin sedikit tretekan, sudah dari kecil Marvin selalu di perhatikan oleh Papa nya. Ia selalu di tuntut untuk menjadi sempurna. Tapi semua itu bukan yang Marvin ingin kan, jika seperti itu terus, Marvin merasa dia hanya di jadikan boneka kecil permainan keluarga Gerlangga.
Ronald tidak pernah memahami apa kemauan Marvin, sejak kecil Marvin selalu belajar dengan keras dan hari-hari di sibukkan dengan les private.
Bagi Marvin kehidupan ini sangat tidak adil, justru harusnya Ia yang iri kepada Alfian, walaupun dia tidak terlalu di kekang oleh ayahnya, tapi setidaknya dia mendapatkan kebebasan yang Marvin inginkan.
Buat apa di sayang oleh orang tuanya, jika dia merasa tidak bebas.
Marvin sudah muak dengan semua ini, maka dari itu Ia memilih untuk tinggal sendiri, sudah cukup selama ini ia selalu menuruti kemauan Ronald.
"Papa mau, setelah kamu lulus nanti, kamu harus mempersiapkan diri untuk kuliah di Inggris."
Marvin berfikir keras mengenai studi sarjananya di Inggris. Untuk melanjutkan universitas tersebut, itu adalah salah satu impian Marvin sejak dulu. Tapi sangat tidak mungkin ia merelakan impiannya hanya demi satu perempuan.
Marvin sudah janji pada dirinya sendiri, jika Ia pergi, siapa yang akan menjaga Febi?
"Marvin pikir dulu, Pah."
KAMU SEDANG MEMBACA
MARVIN GERLANGGA
Fiksi RemajaFOLLOW DULU BARU BACA:) Di saat aku menggenggam tasbihku, dan kau menggenggam salibmu. Apakah itu mungkin buat kita untuk bersatu? Tuhan kita beda, kita seamin namun tak seiman. Di saat aku mengucapkan 'Assalamualaikum' dan kau mengucap 'shalom'. Di...