Malam, di markas Tevandez.
Raphael menghela napasnya panjang. Dia sekarang melihat anggota Tevandez secara lengkap akhirnya... untuk berkumpul dan melakukan acaranya. Kursi-kursi dijejerkan dengan rapih dalam aula besar... yang Raphael dan Putra pernah tempati untuk ber-'edukasi'.
Saksi bisu mereka dari hancurnya pertemanan mereka, sekapan Lauren, dan sebagainya. Saksi bisu mereka juga ketika pertemanan mereka yang hancur kemudian pulih kembali. Memeluk erat satu sama lain, hingga sekarang mereka kembali seperti sedia kala.
Ruangan itu sangat dipadati oleh anggota Tevandez. Lauren yang terduduk di pojokan bersama dengan Jovita bahkan tidak pernah menyangka jika... Tevandez sebanyak ini anggotanya. Lauren mendekatkan bibirnya ke arah telinga Jovita sambil menangkupkan satu tangan di sisi mulutnya. "Nerissa mana?"
Jovita mengedikkan bahunya. "Gak tau, dia sama Rafardhan kali?"
"Justru itu, Rafardhan aja udah ada di depan." Lauren menarik tangannya. "Pasti Nerissa berangkat sendiri, sih."
"Kalo dia ga berangkat gimana, Ren?"
"Paling gue gaplokin aja, sih." Lauren sekarang menyeringai tanpa dosa sambil meremuk-remukkan jemarinya.
Raphael yang berada di depan bersandar sambil berdiri pada tembok. Dia melirik jam tangannya, sebentar lagi acara akan dimulai. Dia bahkan tidak menyangkanya, dekorasi yang telah dia buat selama tiga hari kebelakang... akhirnya selesai. Pangkuan jabatan yang telah dia jalani, telah lengser. Dan juga tanggung jawabnya akan diedahkan dan digantikan pada orang yang baru.
Raphael menilai sekeliling. Dia melihat bendera Tevandez yang sekarang tertautkan pada dua paku di sisi-sisinya. Sementara logonya membentang dengan jelas. Sebuah poster-poster dan juga bingkai poto mereka juga berjejer dengan rapih. Di tengah-tengah panggung yang berdekorasikan kain hitam dan bertempelkan balon foil yang membentuk kata "TEVANDEZ", ada sebuah stand-mic yang sekarang tengah diketuk-ketuk oleh Dirga.
Raphael berjalan ke arah Lauren dalam keterburuannya. "Ren," panggilnya, kemudian mengibaskan tangannya cepat. Lauren beranjak dari kursinya dan berjalan cepat ke arah Raphael.
"Apa, El?"
"Raphael minta tolong," katanya. Entah kenapa, Raphael sekarang menjadi laki-laki yang lembut—jika dengan Lauren. Menurutnya, bermanja-manja dengan orang yang dia sayang itu... menyenangkan. "Boleh?"
Lauren mengangguk. "Apa?"
"Jadi nanti Lauren pegangin nampan yang isinya selempang, ya? Lauren tunggu aja di sisi panggung sebelum Raphael panggil. Jadi nanti," Raphael berbalik, kemudian menunjuk panggung, "Raphael bakal panggil calon-calon ketua sama wakilnya. Sampai ada aba-aba Lauren bisa maju ke panggung, Lauren maju ya nanti?"
Lauren mengangguk-angguk paham. "Iya, iya. Aku paham."
"Bagus, aku mau siap-siap ke depan sekarang," Raphael berbalik menoleh ke arah Lauren. Lewat pandangan Lauren, dia dapat melihat Raphael yang sekarang menggunakan pakaian yang agak formal yang berantakan. Ada kemeja hitam yang membalut kaus putihnya itu. Kerah dari kemeja itu tegap, menutupi lehernya.
Lauren julurkan tangannya untuk membengkokkan kerah itu. "Ketua harus tampil rapih," Lauren kemudian mendongak menatap Raphael sambil tersenyum. "Udah mau lengser juga, ah!"
Raphael kini menjulurkan tangannya, mengelus-elus puncak rambut coklat Lauren. "Iya, Lauren." Dia merunduk, mendekatkan wajahnya pada wajah Lauren. "Makasih ya."
Raphael yang dia lihat sekarang berbeda jauh dengan Raphael yang dulu dia kenal. Raphael yang dulu bahkan menolaknya untuk berkenalan, Raphael yang bahkan menahan gengsinya. Sekarang... berubah menjadi Raphael dengan kemanisannya dan kemanjaannya yang... benar-benar menggemaskan.
"Udah rapih, kan?" tanya Raphael sambil menggenggam kedua sisi keliman kemeja sambil berputar-putar. "Udah cocok kan jadi ketua?"
"Udah sana maju!" tutur Lauren sambil mendorong Raphael dengan kedua tangannya. Kemudian, mereka berpencar dengan Raphael yang siap untuk maju ke depan panggung dan Lauren bersiap untuk memegangi nampannya.
Lauren dengan insting asal, dia berbalik dan melihat ke arah pintu. Di sana terlihat Nerissa mulai memasuki aula. Dia bersapa dengan riang pada Jovita yang tadi terduduk sambil melipat kakinya silat dan memainkan ponselnya. Jovita selalu terlihat modis dengan wajah juteknya itu.
Sementara itu, di luar Aula Tevandez.
"Re," Le mulai turun dari motor Re dan melihat jam tangannya berkali-kali. Dia melihat pancaran cahaya kemilau lewat jendela Aula Tevandez itu. Lapangan Merah di malam hari terlihat sangat gelap dan... cukup menyeramkan. Tapi sekarang tidak. Faktanya, sekarang banyak motor-motor yang berjejer dan juga lampu-lampu yang terjuntai lewat tali-tali yang membentang. "Lo tunggu di sini ya?"
"Iya Le." Re menderum-derumkan motornya sementara dia menoleh ke arah Le yang mulai berjalan dengan berhati-hati sambil menodongkan pistolnya. "Jangan sampai salah sasaran, Le."
Tanpa menoleh, Le mengangguk-angguk.
***
Acara kemudian dimulai. Dirga menjadi pemimpin acara serah terima jabatan ini. Tiba saat dia mulai menyapa para audiens, serentak suara-suara keramaian hilang sekejap bagaikan bensin yang meluap dengan cepat. Dirga memandu acara dengan cukup baik. Bahasa-bahasa yang mengalir lewat mulutnya menyatu dengan padu. Hingga tibalah saat Dirga memberikan ruang dan waktu untuk Raphael berbicara. Penyerahan jabatan tertinggi Tevandez.
Raphael berdeham pada mikrofon itu, kemudian mengetuk-ngetuknya. Dia perlu sedikit merunduk untuk menyamakan tinggi mikrofon itu dengan mulutnya. "Baik, selamat malam semuanya."
Para audiens menyapa sapaan Raphael dengan antusias.
"Baik, terima kasih atas antusiasme kalian terhadap Keluarga Besar Tevandez." Karena Raphael merasa tidak nyaman untuk merunduk sewaktu memberikan kata sambutan sambil menyerahkan jabatan, dia menarik mikrofon itu kemudian menggenggamnya. Persis seperti seorang bintang superstar.
"Jujur, bukan waktu yang sebentar bagi saya untuk kalian dapat bertahan dalam silsilah Keluarga Besar Tevandez. Melewati segala air mata, struggle, dan juga segala ketakutan yang ada. Menjalankan amanah turun temurun untuk menjaga kredibilitas Tevandez itu sendiri lewat penjagaan Lapangan Merah, dan juga menjunjung tinggi solidaritas. Kita telah melewati itu semua.
"Masa SMA memang diukir oleh kita sendiri. Hasil ukirannya tergantung bagaimana kita mengumpulkan sisa-sisa cerita, dan kenangan." Raphael menghela napasnya panjang. "Setelah perjalanan berliku saya menjabat sebagai Ketua Tevandez, maka dengan ini, izinkan saya untuk menurunkan takhta saya dan meneruskannya pada penerus... yang menurut kami berhak."
Lauren tersenyum sambil mengangguk-angguk mendengar pidato singkat Raphael itu. Matanya memicing melihat pada jendela yang lebar di sebelah pintu masuk, kemudian bayangan itu menghilang ke samping, bersembunyi di balik tembok. Lauren menggeleng-geleng tidak yakin, kah dia berhalusinasi atau tidak?
Sebagai formalitas, Raphael membuka sebuah kertas yang sudah dia lipat dari dalam kemejanya. Dia merunduk sambil menghela napasnya berkali-kali. "Sebelumnya, saya mau ucapkan kepada kalian semua atas kerja kerasnya dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya juga. Saya, Raphael, beserta tim inti Tevandez dari kelas dua belas. Izin untuk melengserkan jabatan saya dan menaruh takhta pada...," Raphael menggantung kalimatnya. Dia melihat wajah-wajah ketegangan pada anggota-anggotanya.
Lauren melihat bayangan hitam itu lagi melesat ke arah pintu aula yang terbuka menganga. Begitu dengan jelas Lauren lihat itu bukan halusinasinya langsung berlari ke arah Raphael. Lauren yakin sekali jika... bayangan itu menjulurkan tangannya dan... membidikkan pistolnya dengan tangannya yang agak gemetar.
"RAPHAEL! AWAS!" teriak Lauren sambil melempar nampannya dengan asal dan mendorong Raphael dengan kedua tangannya, sehingga Raphael yang tidak siap itu terdorong jatuh di atas panggung.
DOR! DOR!
KAMU SEDANG MEMBACA
Raphael [SELESAI]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Raphael, seorang ketua Geng Tevandez yang kokoh, dingin dan kuat ternyata memiliki sejuta luka dan misteri di dalamnya yang bahkan Raphael sendiri tidak dapat pecahkan apa isinya. Dia terlalu menutup diri tentang masa laluny...