Epilog

89 6 0
                                    


Di area belakang sekolah.

Raphael berdiri, bentangan area yang sekarang menjadi bersih, dan juga terrawat.

Dia berjalan sekarang dengan perlahan, ke tempat di mana dia pernah terduduk bersama sekawanannya untuk beristirahat setelah berlatih basket dan juga bercanda-canda. Raphael mendongak, melihat pepohonan yang bergemersik, dan menyapukan wajah serta rambutnya dengan angin segar.

Dia sekarang terduduk persis di tempat di mana ia pernah duduk. Berpose sama sambil menatap ke arah konblok sambil tersenyum mengenang. Dia kemudian menoleh ke arah jalan masuk yang kecil... di mana dia pernah melihat Lauren secara jelas. Dengan seragamnya yang masih dihimpit, dan juga wajahnya... yang lugu.

Kemudian Raphael berdiri, mengingat kejadian waktu itu. Di mana Jovita menyeret Lauren ke hadapannya dan... mengenalkannya pada Raphael.

Jovita memperhatikan wajah bingung Raphael sedari tadi, kemudian menoleh ke belakang, ke arah Lauren. "Itu namanya Lauren," kata Jovita sambil menunjuk Lauren. Lauren terlihat bingung, matanya terbelalak dan langkahnya terhenti. "Apa?" katanya sambil mengkerutkan kedua alisnya.

Jovita kemudian berjalan ke arah Lauren, mencengkram pergelangan tangannya dan menyeretnya ke hadapan anggota Tevandez. Terutama Raphael. "Ya perkenalkan," kata Jovita dengan antusias. Dia menepuk bahu Lauren dengan begitu semangat, Lauren tersentak dibuatnya. "Dia namanya Lauren, siswi baru. Jarang main, makanya ga pernah ketemu, kan? Ya begitulah, gue ajak main ketemu kalian. Awalnya ga mau, cuma gue paksa akhirnya."

Raphael tertawa-tawa sendiri mengingat kejadian itu. Ketika Jovita dengan antusiasnya mengenalkan Lauren dengannya.

Entah naluri dari mana, pikiran Lauren memerintahkannya untuk segera menjulurkan tangannya kepada Raphael. Kemudian, tangan itu terjulur di depan Raphael. "Salam kenal," kata Lauren sedikit gugup kemudian menyunggingkan senyumannya pada Raphael. Senyumannya yang secerah matahari yang bercahaya lewat celah-celah awan pasca hujan. "Semoga kita berteman baik."

Raphael kemudian terdiam menganga sementara matanya menatap Lauren penuh akan geli. Hening menyapa mereka semua. Tangan Lauren terjulur tanpa ada balasan, hanyalah ditatap oleh Raphael secara bergantian dari tangannya, kemudian berganti pada wajahnya. "Berteman baik?" tanyanya kemudian tertawa penuh sarkas.

Gue bahkan enggak menyangka, kita bisa lebih dari berteman baik. Kita malah berpacaran, Ren. Raphael tersenyum sendiri mengingat kejadian itu. Ketika Raphael dengan arogan tidak menjabat balik tangannya... dan malah Dirga yang menjabatnya.

Meskipun hatinya retak, kini Raphael mencoba tersenyum. Dia menghela napasnya panjang sambil memejamkan matanya.

Untuk sekarang, dan selamanya. Selamat menyusul Miguel di sana, kata Raphael dalam hati, dengan sedikit perasaan cemburu. Tapi, bagaimana lagi?

Gue senang bisa jadi rumah lo, untuk sebentar. Terima kasih, lo udah mau nerima gue, yang berandal dan buruk ini. Gue bakal pegang janji gue buat belajar, dan menggapai masa depan gue.

Seketika, Raphael teringat akan perkataan Lauren tempo hari. "Miguel itu pacar gue," jawab Lauren. "Gue gak tau harus sebut Miguel sebagai pacar atau... mantan. Tapi...," Lauren gugup, dia menggigit bibir bagian bawahnya. Sementara itu, Raphael yang melihat Lauren gugup dan menggigiti bibir bawahnya benar-benar membuat jantung Raphael berdegup dengan kencang. Sangat kencang. "Lo emang bener, gue punya cinta yang besar sama dia."

Raphael tersenyum pahit. Gue juga enggak tau mau sebut lo apa, pacar kah, atau mantan? Nasib kita kenapa sama ya? Gue punya obsesi besar ke lo... dan sekarang lo tinggalin gue.

Raphael menghela napasnya panjang sambil tersenyum pahit.

Titip salam gue buat Miguel, Ren. Titip makasih gue buat dia karena... dia telah membuat lo bahagia.

Raphael kini memasukkan tangannya ke dalam sakunya, dan berjalan dari area itu untuk pergi ke kantin. Menemui teman-temannya,

Nampaknya, gue sekarang harus menemukan jawabannya, Ren.

Melupakan Lauren.

Serta mengikhlaskannya.

"Iya, lo bener juga. Sisanya, tinggal menyikapi yang ada di masa sekarang. Soalnya yah, masa lalu juga gak bakal terulang untuk dua kali lagi."

***

"Masa SMA memang diukir oleh kita sendiri. Hasil ukirannya tergantung bagaimana kita mengumpulkan sisa-sisa cerita, dan kenangan."

Raphael [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang