Lauren tidak menyangka lapangan lebih ramai dari dugaannya. Orang-orang berdesak-desakan dengan baju mereka yang sudah berantakan. Di sana juga, Lauren melihat seorang pasangan berfoto ria dengan bahagia.
Sang cowok berpose mendongak sambil menyunggingkan sebuah senyuman sementara ada bola basket yang ia bawa dengan kedua tangannya. Dan sang perempuan di sebelahnya berpose menyamping sambil menyunggingkan senyuman pula. Pasangan serasi, Lauren pikir.
Seketika pikirannya teringat akan kejadiannya dua minggu yang lalu... kesakitan mulai merebak pada hatinya. Ada sebuah retakan yang semakin menjalar dan luas pada hatinya. Teringat akan cintanya...
"Lo mau kayak begitu?" tanya Kyra sambil menyikut Lauren.
Lauren menoleh pada Kyra. "Ya mau lah, siapa sih yang ga mau kayak begitu," jawabnya kemudian tertawa sambil mengibaskan tangannya. "Lo juga mau kan kayak begitu?"
"Iya," jawabnya. Kemudian Jovita yang berada di depannya berbalik menghadap mereka. "Guys," katanya berteriak, sengaja agar terdengar oleh Lauren dan juga Kyra. "Gue tau di mana anak-anak Tevandez berada, mau ke sana?"
"Buat apa?" tanya Lauren sambil mengernyit. Sementara suaranya tidak terlalu terdengar oleh Jovita. Suara hiruk pikuk begitu ramai, suara microphone, supporter dan juga suara bass menyatu menjadi satu dan memekakkan telinga.
"Ya ketemu sama mereka, lah!" kata Jovita sambil merenggut. "Emang lo pikir mau ngapain lagi?"
"Ya terus hubungan kita sama anak-anak Tevandez apaan? Kalo ketemu mereka terus jejeritan kayak...," Lauren menggantung kalimatnya, tidak yakin.
"Kayak apa?"
"Cewek-cewek bodoh gitu, tau ga?"
Jovita tertawa, dadanya naik turun. "Oh gosh, gue kan pacarnya Putra! Lo emang gak tau? Lagian mereka juga enggak keberatan sih kalo kita datang, ketemuan sama mereka juga. Mereka malah senang!"
"Enggak sama gue, gue gak dikenal. Jadi udahlah, kalian aja. Gue mau balik lagi ke kelas!" kata Lauren kemudian berbalik, dan dengan segera berjalan dengan cepat membelah lautan manusia. Tapi, sergapan dari Kyra dan Jovita tak kalah cepat. Jadi kerah bagian belakan Lauren tertarik dan tergenggam oleh tangan Kyra dan Jovita.
"Gak, gak boleh. Gue udah bilang, gue bakal buat lo main, meskipun lo harus gue seret," kata Jovita sambil mendengus dan menatap penuh intimidasi kemudian disusul oleh kekehan Kyra. Kemudian mereka membalikkan Lauren dan melingkarkan tangannya pada tengkuk Lauren. "Sorry kesannya maksa. Tapi, lo harus main. Lo harus kenal sama mereka, dan anak-anak yang lain juga. Gue gemas tau lihat lo murung terus di kelas, menyendiri terus. Kayak kasihan tau gue lihatnya!"
"Makanya itu gue ajak lo main, tapi lo nolak mulu," sungut Kyra. "Sekarang gak ada alasan lagi, titik."
Lauren memejamkan matanya, kemudian mengembuskan napasnya dengan penuh pasrah. "Ya deh, kalian menang. Gue ngalah," katanya sambil menunduk. Seakan-akan kepalanya bergelepai pada tubuhnya yang sudah diapit Jovita dan Kyra.
Melewati lautan manusia, Lauren menelisik pada keadaan sekitar. Di sebuah taman yang bertaung pada pohon kokoh, terkumpul para kelompok basket dari anak sekolah lain. Mereka menggunakan seragam basket mereka yang berwarna emas dan biru pada tiap-tiap kelimannya. Mereka meregangkan kaki mereka sementara mereka mengoper satu persatu minuman mereka.
"Itu anak sekolah mana?" tanya Lauren kepada teman-temannya, tidak bertanya secara khusus. "Lo pada tau?"
"Itu anak SMA Garuda, kalo lo tau. Sekolahnya ya gak jauh-jauh amat sih dari sini," jelas Jovita. Seakan-akan dia yang paling tahu, tapi memang faktanya dia yang paling tau sih. "Anak-anak Gladius tuh suka salah paham sama anak-anak Tevandez. Jadi ya... suka salah paham, terus suka perang juga kalo lo tau."
"Emang gara-gara apa sih mereka berantem? Kayak gak ada hal lain aja yang dipikirin...," tanya Lauren bingung. "Maksud gue masa SMA kan bisa diisi ga sama tawuran aja?"
"Iyasih, cuma yang gue tau ya mereka dari dulu emang berselisih paham. Dari angkatan sebelum mereka, bahkan. Katanya sih mereka suka ributin hak milik Lapangan Merah." Jovita kemudian menurunkan tangannya dari tengkuk Lauren. "Tapi sejauh ini sih, Lapangan Merah mah punya Tevandez. Jadi aman-aman aja."
"Emang Lapangan Merah apaan fungsinya?" tanya Lauren bingung. "Maksud gue, kan itu cuma sepetak tanah aja? Kayak gak ada hal lain aja yang bisa diperhitungkan gitu."
"Ada hal yang ga kita pahami, Lauren," jelas Kyra yang berada di sampingnya. "Mungkin aja bagi kita, itu cuma sepetak tanah aja. Tapi, bisa jadi bagi mereka itu sebuah kebanggaan, harga diri mereka juga sebagai Tevandez. Jadi yaudahlah, diem aja kita, kita gak tau soalnya, Lauren."
Kemudian rasa bersalah mulai merasuki hati Lauren. Ada benar apa kata Kyra. Untuk apa mengurusi orang, yang bahkan belum kita ketahui apa tujuan orang itu? "Iya, maaf," kata Lauren malu, dia merunduk. "Gue sadar, ga seharusnya sih gue komentar kayak begitu. Itu juga... urusan mereka."
"Santai aja, buset." Nerissa berbalik kemudian tertawa, matanya menjadi bulan sabit. Di bawah sinar matahari pagi, kulitnya menjadi putih pucat dan rambutnya berwarna kecoklatan muda. "Oh ya, Jov. Di mana mereka?"
"Setau gue Putra pernah ngasih tau, kalo mau ketemuan ya di area belakang sekolah aja, area konblok. Katanya sih bisa buat latihan, meski pemanasan aja sih. Lewat sana aja." Jovita menunjuk setapak jalan kecil dengan dagunya. Jalan itu berkonblok dan sudah dibalut oleh lumut. Tapakan jalan itu juga ditutupi oleh ranting pohon yang merunduk, dan juga dinding-dinding di sampingnya sudah mulai retak. Retakannya bagaikan sarang laba-laba yang banyak. "Lebih cepat. Lagian juga, gak ada anak-anak umum yang masuk sana. Soalnya serem juga keliatannya."
"Itu buat area apaan emang? Bisa-bisanya sekolah elit ada bagian beginiannya juga," kata Lauren.
"Ya begitulah sisi seluk beluk sekolah. Bahkan ga semua orang tahu ada area di sini. Orang mikir ini tuh cuma area buntu ketutup pohon aja," jelas Jovita kemudian dia merunduk, melewati area dahan yang turun menutupi jalan masuk di sana. "Ayo sini." Dia kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu teman-temannya melewati celah yang ada pada ranting pohon itu.
Begitu Lauren telah melewati celah ranting pohon itu. Pandangannya terpaku pada sebuah tembok putih yang kotor, dan juga bercampur dengan warna coklat. Warna putih aslinya telah pudar. Terdapat jalan setapak lain yang berbelok, Lauren mengernyitkan kening. "Ini benar di sini? Kayak... area terpencilkan soalnya."
"Ya, bagi orang yang baru masuk. Tapi sebenarnya emang area terpencilkan sih. Tapi tempat yang enak sih, buat kumpul-kumpul, atau bahkan madol," jelas Nerissa sambil mengacungkan jari telunjuknya. "Tapi guru-guru udah pasti bakal ngecek bagian sini, sih. Jadi jangan harap deh bisa madol dengan tenang di sini."
Begitu melihat area konblok yang dimaksud, Lauren justru sekarang terperangah. Pasalnya, yang ia pikir tempat terpencil yang kumuh, kotor dan bau, justru malah bertolak belakang. Ia melihat pepohonan yang rindang, sesekali dedaunan jatuh dan berserak pada konblok yang celah-celahnya sudah terjalari oleh rerumputan liar. Di pojokan lapangan itu, terdapat sepetak tanah yang dipinggiri oleh konblok yang berisikan tanaman-tanaman hias yang cerah dan mekar. Bergelayut dibawa angin.
"Sekolah kabarnya mau membuka area sini tahun depan, makanya sekarang mulai direnovasi. Lo liat aja tamannya," Kyra menunjuk sepetak taman yang penuh akan bunga mekar. "Itu salah satu buktinya. Cuma bagian jalan masuknya emang belom diatur, biar jadi projek rahasia katanya. Cuma mah kesebar-kesebar aja. Gak jadi rahasia lagi."
"BISA!" teriak para cowok-cowok yang Lauren pikir itulah anak-anak Tevandez. Lewat suaranya yang menggelegar dan bahkan berharmoni, mereka bersatu dan menggemakan area kosong tersebut.
Mata Lauren langsung menelisik bagian sekitar. Dan di antara sepetak taman dan juga sebatang pohon, para laki-laki itu berdiri membentuk sebuah lingkaran bercelah. "Itu mereka," kata Jovita kemudian berlarian dengan antusias ke arah salah satu anggota Tevandez. "Putraaaa!" teriaknya sambil membentangkan tangannya. Kemudian salah satu cowok berbodi ramping dan tinggi berbalik. Senyuman tersungging pada bibirnya, kemudian dia berbalas bentangan tangan dan juga mendekap Jovita dengan penuh kasih.
Retakan hati Lauren akan kejadian itu semakin menjadi. Pikirannya semakin nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raphael [SELESAI]
Fiksi Remaja[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Raphael, seorang ketua Geng Tevandez yang kokoh, dingin dan kuat ternyata memiliki sejuta luka dan misteri di dalamnya yang bahkan Raphael sendiri tidak dapat pecahkan apa isinya. Dia terlalu menutup diri tentang masa laluny...