30. Licik

26 5 0
                                    

Di sebuah lapangan kosong, Raphael memarkirkan motornya. Dia menunggu kedatangan Daffa, sesosok orang yang sudah membuat sebagian hidupnya hancur. Dia menstandarkan motornya ke samping, sementara, helm fullface-nya tertengger pada spionnya itu. Dia melipat kedua tangannya pada dadanya, melihati keadaan lapangan sekitar: lapangan yang gersang, hanya ditumbuhi rumput liar di pinggir-pinggirannya. Keadaan semen parit yang retak, tembok yang dicorat-coret dan juga bangunan runtuh. Seakan-akan, inilah tempat semestinya...

Untuk pertarungan penghabisan.

Ponsel Raphael berdering. Dengan segera, dia masukkan tangannya ke dalam sakunya. Terpampang dengan jelas nama Nabiel di sana. Dengan ini, dia jawab panggilan ponsel itu. "Halo bang?" tanya Raphael sambil mendekatkan ponselnya ke telinganya.

"Lo udah di mana? Lo udah di posisi? Daffa gimana?" tanya Nabiel buru-buru dengan suara yang agak panik—dan juga peduli.

Raphael menoleh ke kanan dan ke kiri dengan mata tajam birunya itu. "Baik-baik aja," jawab Raphael. "Tapi, gue masih belom nemu di mana Daffa. Gue masih sendiri di sini."

"Lo emang ajak dia ketemuan gimana?"

"Gue ajakin lewat Instagram. Gue alasannya ngajak ketemuan buat menyelesaikan masa lalu," jawab Raphael. "Dan sekarang, masa depannya ada di tangan gue."

"Jangan bego, Raphael. Dia kuat banget... maksud gue, gue curiga dia punya banyak aliansi. Lo bisa mati di sana... lo sendirian doang. Emang, anak-anak Tevandez lo mana?"

Raphael menggeleng. "Enggak gue sangkut pautkan. Soalnya, ini masalah pribadi gue, bang. Andai mereka bawa-bawa orang lain, gue udah siap mental. Dia pengecut, dan gue pemenangnya. Bagaimanapun juga."

"Tapi, El. Hidup bukan tentang predikat doang! Lo harus ketahui itu, El!"

"Tapi setidaknya dia hidup berdampingan sama harga diri."

"Kalo lo mati di tempat, emang ada yang tahu cerita seluk beluknya gimana kecuali gue?"

Raphael terdiam sekarang.

"Lo kalo bahas masa lalu, baik-baik aja sama dia. Jangan terlalu keras juga... gue khawatir sama lo, El. Gue tahu lo kuat, gue tahu banget itu. Tapi, bukan berarti dengan kuatnya lo, lo tidak terkalahkan. Enggak, enggak begitu."

Raphael berdecak pelan. Jantungnya berdegup kencang. Ada benarnya juga apa kata Nabiel. Tapi, inilah masa pembuktiannya. Setidaknya Nabiel harus mengetahui konsekuensi apa yang dia perbuat: membuat orang kecewa, kesepian, dan tertekan. "Yaudah, makasih bang nasihatnya," jawab Raphael buru-buru dan singkat kemudian menutup telepon tanpa mendengar apa jawaban dari Nabiel.

Raphael menganggap nasihat Nabiel benar-benar tidak membantu. Dia bahkan tidak mengetahui apa yang Raphael lewati setelah Rebecca meninggal—keterpendamannya akan kerinduan pada kakaknya, atau apalah. Nabiel tidak mengetahuinya! Dengan ini, Raphael masukkan kembali ponselnya pada saku jaketnya, kemudian menempelkan genggaman tangannya pada dahinya dan merunduk. Menunggu kedatangan Daffa.

Kemudian terdengar suara deruman motor yang bersahut-sahutan. Dalam rundukannya, Raphael menyatukan kedua alisnya. Apakah Daffa datang bersama teman-temannya, padahal dia telah mengajaknya untuk bertemu berdua... bertatapan mata. Kemudian, dengan ini, dia mendongak, melihati suara deruman motor yang datang itu.

Terlihat ada lima orang dengan setelan serba hitam. Motor mereka besar, dengan berwarna hitam mengilap. Di barisan paling depan, terlihat ada orang dengan rambut coklat panjang yang keluar, melewati helmnya yang bagai tempurung kelapa itu.

Raphael [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang