31. Sadar

24 6 0
                                    

Mata tajam Raphael mulai membuka, disusul juga dengan getaran dari jemari telunjuknya. Perlahan, pandangannya yang buram semakin jelas lama kelamaan. Yang terpandang olehnya sebuah atap gypsum. Dengan perlahan, dia mengerlingkan matanya ke arah kanan dan juga ke arah kiri. Dia sekarang tengah terbaring di sebuah kursi yang beranyamkan bambu. Sementara itu, teman-temannya sedang terduduk di kursi, menyesap kopinya sambil tertawa-tawa.

Tidak, sekarang lebih dari sekadar teman-temannya. Di ujung dari ruangan itu, terduduklah segerombolan laki-laki dengan wajah yang terlihat lebih muda. Mereka sekaragn tengah terduduk sambil melipat kedua kakinya, dan menenggelamkan wajahnya pada tangan yang melingkari lipatan kaki itu. Beberapa di antaranya tersandar sambil terpejam matanya, terlihat pulas untuk tertidur.

Raphael menaikkan salah satu alisnya, itulah Bisma, adik kelasnya. Dan Raphael curiga, itulah anak-anak Tevandez yang lain.

Raphael sekarang duduk. Ia tenggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sambil merasakan kertakan dari tulangnya sementara itu, tangananya dia sampirkan di pundaknya. "Oh, Raphael. Udah sadar?" tanya seseorang kemudian berjalan ke arahnya sambil terduduk di hadapannya, dia menepuk pundak Raphael dengan perlahan dan Raphael dengan segera membuka matanya.

Putra.

Mata Raphael terbelalak. Dengan segera, dia melihat-lihat keadaan sekitar. Di sana, terlihat ada Ardega yang tengah menatap Raphael dengan tatapan agak kecewa dan juga sayu. Di sampingnya, ada juga Dirga dan juga Rafardhan yang sedang membuang mukanya ke samping. Tertawaan yang tadi ada, seketika lenyap begitu Raphael tersadar.

Putra mengintip teman-temannya lewat pundaknya, kemudian menggoyangkan kepalanya. Dengan segera, teman-teman lainnya beranjak dari kursinya dan berjalan mendekati Raphael. Dan sekarang, mereka duduk berdekatan. Mata meraka menatap Raphael dengan tatapan tajam dan juga penuh akan keheranan. Mereka meminta penjelasan.

"Ceritain ke gue, kenapa lo?" tanya Rafardhan dengan alisnya yang bertaut itu. "Lo bisa ke Bandung sendirian sampai... lo berurusan sama mereka yang bahkan temen-temen lo ga tau. Lo kenapa ga bilang ke temen-temen, lo, El? Temen lo siap bantu, kapanpun!"

Raphael menggeleng. "Enggak, enggak begitu," kata Raphael kemudian mendongak, menatap mata Rafardhan. "Bukan maksudnya gue gak butuh bantuan lo. Ini... anak Tevandez yang luar inti pada ke sini?"

"Gak usah ganti topik. Balik lagi ke topik, tapi apa, El?"

Raphael gagu untuk menceritakannya.

"Lo liat sendiri, gimana parahnya kondisi lo. Gue.. bahkan sampai enggak menyangkanya. Lo diinjek-injek gitu. Gue gak terima!" bentak Ardega sambil meremas-remas jemarinya. "Lo ada masalah apa sama dia? Lo ga cerita, kenapa?"

Raphael ragu untuk menceritakannya. Tenggorokannya sekarang sekaan-akan telah tersumbat oleh sebuah penghalang. Dengan ini, dia mengelus-elus punggung tnagannya dengan jari jempolnya. Sementara itu, bibirnya menipis dan kedua alisnya naik di ujung.

Putra menarik napasnya dalam-dalam kemudian menurunkan tangannya dari pundak Raphael. "Lo gak percaya ama temen lo apa gimana, El?"

Haruskah Raphael menceritakan semuanya? Haruskah dia menceritakan tentang kakaknya, tentang dirinya yang suka menangis di malam hari ketika itu dan segala-galanya pada teman-temanny. Dengan ini, keadaan hening untuk beberapa saat. Dengan ini, Dirga mengangguk-angguk paham. "Udahlah, ga harus juga Raphael ceritain semuanya ke kita, kan?" Kemudian Dirga menatap Raphael dengan penuh perhatian. "Tapi, kalo misalnya lo ada masalah atau ada halangan. Bilang aja ke temen-temen lo, El. Kita kan keluarga."

Raphael [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang