blurb

241 46 10
                                    

SUARA keributan yang timbul dari unit kecil di apartemen salah satu sudut barat kota Jakarta agaknya bisa terdengar sampai ke galaksi tetangga karena saking ricuhnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SUARA keributan yang timbul dari unit kecil di apartemen salah satu sudut barat kota Jakarta agaknya bisa terdengar sampai ke galaksi tetangga karena saking ricuhnya. Teriakan sebal dan saling bersahutan dari Ruby dan Jefri selalu menjadi rutinitas. Satunya ngotot ingin mandi lebih dulu sementara yang lain masih asik bersemedi di dalam kamar mandi sembari menyerahkan setor harian.

"Lima menit belum keluar, gue dobrak beneran pintunya, Jane!" Jefri sekali lagi berteriak keras.

Ini sudah pukul tujuh pagi dan perjalanan ke kantor bisa memakan waktu hampir satu jam kurang. Belum lagi kalau dia ketinggalan KRL dan harus naik TransJakarta. Bisa-bisa sampai di kantor ruangannya tinggal debu beterbangan.

"Pake kamar mandi punya tetangga aja kenapa sih! Gue masih kebelet," sementara Ruby menyahut tidak kalah sewot, diimbuhi gebrakan kecil ulahnya melempar tisu toilet ke pintu.

Menimbulkan gertakan tidak tertahan dari Jefri. Pria itu mengacak rambut frustasi menghadapi tingkah ajaib adiknya. Tolong garis bawahi kata adik, karena kalau dia bukan adiknya, Jefri mungkin sudah kehabisan akal sekaligus kesabaran.

"Lo pikir si Harris nggak kuliah? Dia ngga kaya lo ya udah pengangguran, bisanya ngrepotin lagi!"

"Bacot ya Jef!"

Jefri mengelus dada, menghela napas coba mengatur kesabaran yang selalu diuji oleh Ruby. "Tau bakal kayak gini dulu nggak gue pungut ini anak," gerutunya pelan meski sepertinya Ruby masih bisa mendengar samar-samar.

"Ngatain gue ya!"

"Nggak. Ini ada kecoak nyariin lo."

"Anjing."

"Heh mulutnya makin lama. Siapa yang ngajarin woy? Ntar dikira gue nggak bisa didik adik gue."

"Kan ajaran lo, bego."

"Ngaco. Gue ngajarin yang baik-baik terus."

"Terserah!"

Lalu Ruby mengakhiri obrolan tidak berfaedah mereka setelah sempat berpikir. Di tengah kegiatannya kenapa juga dia masih meladeni Jefri?

Ruby keluar setelah lebih dari lima menit dengan Jefri yang langsung mandi tergesa-gesa. Begitupun dengan ritual pagi sebelum berangkat kerja, memakai pomade, memilah kemeja paling rapih komplit dengan dasi yang senada, dan parfum yang bisa dicium baunya sampai ke tower sebelah.

Jefri singgah di meja makan dan segera mengambil sarapan seadanya yang disiapkan oleh Ruby. Sarapan sederhana yang dimaksud adalah nasi semalam dengan telur ceplok yang lebih tepat disebut sebagai orak-arik tidak estetik. Tapi berhubung Jefri sudah kepalang tanggung hampir telat, jadi sarapannya terasa nikmat saja.

"Pelan-pelan," ujar Ruby memperingati kala melihat kakaknya makan dengan terburu. "Udah kayak dikejar dept collector, tau?"

"Gue udah mau telat dan itu semua gara-gara lo, inget?"

Ruby tidak membalas langsung hanya berkomat-kamit. Kebiasaan ketika mereka sedang adu argumen dan Ruby mendapati memang dirinya yang salah. Sangat tidak patut untuk dicontoh.

"Jane?"

"Hm?"

"Lo jadi wawancara di perusahaan itu?" Pertanyaan Jefri membuat Ruby menghentikan suapannya. Dia balas menatap sang kakak lalu mengangguk tegas.

"Kenapa? Lo mau bilang mending cari perusahaan lain?"

"Iya."

"Sial."

Jefri terkekeh namun dengan gesit menyelesaikan sarapannya. "Lo inget kasus korupsi yang pernah gue tangani yang melibatkan banyak perusahaan swasta?" Tanpa menoleh dan merasa terusik, Ruby mengangguk. "Dan calon bos lo, dia adalah target utama kejaksaan, sebelum suapannya berhasil membungkam hakim."

Namun pada akhirnya Ruby tidak tahan. Terakhir dia mau wawancara, Jefri juga melakukan hal yang sama.

Ruby masih bisa memaklumi kalau Jefri bersikap posesif sekaligus protektif menyangkut laki-laki alias kekasihnya, tapi urusan pekerjaan?

Demi celana dalam Jefri yang kadang berlubang tapi masih tetap dipakai, Ruby sudah menganggur lebih dari setahun. Sementara teman seangkatannya sudah punya pekerjaan tetap bahkan ada yang naik jabatan.

"Terus lo maunya apa nih, Jef?"

"Cari kerjaan lain."

"Lo ngomong udah kayak lo aja yang punya perusahaan bonafit gede. Gue yang nyari kerja udah kayak mau mati rasanya."

Jefri mendecak, meneguk minumnya sebelum membalas Ruby. "Lo lulusan manajemen, Ruby. Pasti banyak yang butuhin."

"Iye, tapi saingannya bejibun juga, Jef. Udah lah mumpung ada perusahaan dengan bonafit gede gini yang mau interview, kenapa nggak?"

"Dibilangin ngeyel. Ntar lo sendiri yang nyesel."

Percakapan mereka berakhir seirama dengan Jefri yang sudah rampung sarapan. Pria itu berangkat setelah menyegat Harris, tetangga unit mereka yang kebetulan ada jadwal kuliah pagi. Sementara Ruby ditinggalkan bersama perasaan sedikit jengkel sisa argumen singkat tadi.

Masa bodoh dengan omongan Jefri. Dia butuh uang dan tidak mungkin selamanya mengandalkan Jefri. Lagipula kalau terjadi sesuatu dengan bosnya, memang karyawan biasa dapat pengaruh apa selain terancam PHK?

 Lagipula kalau terjadi sesuatu dengan bosnya, memang karyawan biasa dapat pengaruh apa selain terancam PHK?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Broken WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang