"Sibuk sekali, Si!"
Bu Henidar, Perempuan paruh baya yang terlihat masih cantik dengan wajah polos tanpa make up itu mendekati setelah menutup pintu yang dibukakan beliau untuk Sisi, putrinya.
"Iya bu, sedang mempersiapkan promo produk terbaru, tugasku dikantor padat sampai launching!" Sisi melepas sepatu bertumit tinggi yang dikenakannya sebelum meluruskan kakinya dengan punggung menyandar di Sofa ruang tamu.
"Belum lagi novel karyamu yang akan segera terbit ya, Si!" Ujar ibunya sambil duduk disofa lain didekat Sisi.
"Iya bu, kalau novel sudah diatur semua oleh penerbitnya, jadi aku juga tinggal promosiin aja!" Sisi berkata sambil mengangkat wajah dan memejamkan matanya lelah.
"Tetap semangat, gadis kuat dan cerdasnya ibu!" Bu Henidar mengusap bahu anaknya itu.
"Terima kasih support dan do'anya selalu, bu!"
Sisi membuka mata dan tersenyum pada ibunya yang selalu menguatkannya dalam keadaan apapun sejauh ini.
"Tentu anak ibu yang cantik, sehat-sehat sayang, jangan lupa sudah 25, waktunya mikirin berumah tangga!"
Sisi tertawa mendengarnya. Berumah tangga? Rasanya perutnya seperti digelitiki mendengar itu. Berumah tangga, tidak asing sekali kata itu. Tidak asing saat ia merasa bahwa ia takkan bisa dekat seorang pria. Bagaimana mungkin bisa tanpa sebuah proses langsung berumah tangga?
Mungkin kalau orang lain yang bertanya seputar kapan menikah, kapan berumah tangga, kapan mengakhiri masa single. Kapan, kapan, kapan. Adalah pertanyaan yang paling tidak mengenakkan. Tetapi karna pertanyaan itu datang dari ibunya, ia tidak pernah merasa pertanyaan itu tidak mengenakkan. Ia menganggap ibunya terlalu memahami dirinya, sehingga pertanyaan itu hanya pertanyaan sambil lalu tidak seperti pertanyaan oranglain yang selalu berujung, "Jangan terlalu mikirin karir, nanti lupa mencari bahagia!"
Sisi tertawa, memangnya bahagia hanya didapat dari pernikahan? Memangnya menikah pasti bahagia?
"Itu si Safna sudah menikah, sama orang kaya, pernikahannya dipenuhi sponsor, tidak harus mengeluarkan banyak uang, kantornya bonafid, sampai memberinya hadiah pernikahan sebuah mobil!"
Sisi tertawa mendengar ucap Mia, satu-satunya teman yang berani mengusiknya dengan pertanyaan kapan menikah. Mia mengingatkan, teman-temannya sudah banyak yang mengakhiri masa lajang mereka diusia sebelum 25.
"Menikah itu jangan sampai karna teman sudah menikah, kalau hanya karna alasan itu apalagi belum ada yang merapat, kita juga jadinya gak akan selektif!"
"Terlalu selektif nanti jadi kepilih yang dibawah standart malah, Si, lagi juga gimana mau deketin, kamu terlalu pinter, terlalu sukses, terlalu-terlalunya sampai bikin cowok takut mendekat!" Tukas Mia seolah mengkhawatirkannya.
"Apaan sih Mia? Bukannya sudah paham ya, sebenarnya bukan karna pilih-pilih juga!" Ringis Sisi sambil menyibak rambutnya yang mulai panjang.
"Sudah sold out ya sebenarnya? Cuma pura-pura aja masih jomblo biar gak diusik-usik kisah cintanya? Cem artis saja sampai sembunyi-sembunyi!"
Sisi hanya tertawa saat itu. Mia selalu mendesaknya dengan pertanyaan seputar itu-itu juga kalau bertemu. Padahal ia tidak mudah untuk memberikan hatinya pada seseorang. Selama ini ia seolah menikmati kejombloannya dengan cara mengisi waktunya dengan kegiatan-kegiatan agar dia tidak punya waktu untuk merasa kesepian.
Sudahlah, ia tidak ingin mengingat-ingat pertanyaan orang-orang seputar pernikahan. Yang jelas, ia ingin terlebih dahulu mencapai impian-impiannya. Salah satunya membahagiakan ibunya dengan menjadi gadis yang penuh dengan prestasi. Setidaknya membuat ibunya bangga dan tidak merasa sia-sia memilih hidup dengannya tanpa bapaknya. Orang yang membuatnya depresi dan takut dekat laki-laki.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEGUP RASA
Fanfiction"Kamu bilang sama semua orang, kita gak pacaran bukan? Kalau begitu aku bebas?" "Kita gak pacaran, tapi kamu gak boleh sama yang lain!" "Lho?" "5tahun lagi, aku akan datang melamarmu!" DUG. Degup itu datang lagi. Saat teringat janjinya untuk datang...