Bagian#8

1K 238 35
                                    

Tidak apa-apa,
Melupakan komitmen
Melupakan kejujuran
Merusak kepercayaan
Tak pernah menyesal,
Menjaga itu semua
Meski ingkar telah membuat kecewa.....

SILY

###

Debur ombak membentur dan menghempas di bibir pantai. Seolah sekaligus menghempas perasaannya. Sily menggenggam erat pena, merobek secarik kertas dalam sebuah buku dengan goresan perasaan, lalu menyerpihnya hingga kecil-kecil, dan membiarkan serpihan itu terbawa ombak yang menyapu bibir pantai dimana kakinya tenggelam dalam pasir yang basah.

Seiring dengan hempasan itu, lingkaran lengan mendekap hangat dibelakangnya. Dan sesaat ia merasakan hembusan udara yang hangat menyapu bahunya.

Sisi menemukan legam tertunduk kusyu seraya menimbulkan gelitik ujung runcing dibahu meninggalkan hangat sekaligus gelenyar yang membuat bulu kuduk meremang saat terasa udara terdengar ditarik.

"Wangi!"

Satu kata terucap dari bibirnya saat ia menunduk mencium legam itu dan setelahnya legam itu bergerak hingga bukan ujung runcing lagi yang menyangkut dibahu tetapi dagunya.

"Kok dirobek, dibuang, dilenyapkan, bukankah itu perasaanmu?" Suaranya serupa bisikan yang membuat Sisi menoleh.

"Terlalu luka!" Jawab Sisi dari lubuk hati terdalam.

"Masih merasa terluka?"

"Luka tapi tak berdarah!"

Sily membuang pandangannya. Menghempas ingatan saat dimana rasa percayanya terhempas akan sebuah sikap yang mungkin bagi yang tidak tahu rasanya adalah sepele.

"Jadi, kemarin hunting tidak sendiri?"

Diatas empuk dibalut putih dan aroma ruangan khas rumah sakit, pria itu menatapnya dengan netra terpancar rasa bersalah kalau Sisi tidak salah nilai saat itu.

Dia sedang sakit, akibat perbuatannya sendiri ditambah ternyata ia tak sendiri, sementara Sisi sedang sibuk menyelesaikan jadwal padat untuk meraih mimpi.

Berlebihankah bila seorang perempuan merasa diindahkan saat berjuang dan kepercayaannya terhempas begitu saja? Seolah kelelahannya yang ia lupakan hanya untuk berada disampingnya saat itu, terkoyak begitu saja.

Datang terburu-buru, cemas melanda, meninggalkan setumpuk tugas, hanya demi menjadi semangat si sakit dan memastikan keadaannya baik-baik saja dalam keadaan yang lelah. Sesungguhnya saat itu ia merasa bersalah karna waktunya tidak banyak bersamanya akhir-akhir itu demi merealisasikan ambisi berhasil disemua bidang yang ia tekuni dan menyelesaikan semua demi mencapai tujuan mulia mereka menempuh hidup baru. Tetapi semua itu seolah menguap karna pendengarannya terlanjur menangkap ucap yang membuat tubuhnya bergetar dengan dada yang bagai dipukul.

"Gara-gara gue masih ingin mengabadikan langit padahal sudah mendung, kita jadi terjebak  hujan!"

Bukan. Bukan hanya kalimat itu yang membuat dadanya dipukul. Tadinya kalimat itu coba ia pahami. Ketidak jujuran Digo padanya karna tidak bercerita dengan siapa dia pergi hunting dan kehujanan mungkin hanya satu dari beberapa yang tidak mudah ia terima.

"Agar kita, lebih dekat mungkin?"

Kalimat itu begitu menyengat, hingga gendang telinganya terasa berdenging. Seolah permintaannya untuk tidak terlalu meladeni gadis itu meski hanya  sebatas pekerjaan yang menurutnya tidak harus karna photografy hanya kegiatan mengisi waktu Digo bagai menyulut akibat yang ia takutkan. 

"Jadi, waktu itu sama dia huntingnya?"

Pertanyaannya dijawab dengan tatap lensa berbingkai lentik yang berkedip. Dadanya berdegup. Sama degupnya dengan jantung Digo yang tak menyangka Sisi akan mengetahui sebelum ia sendiri yang mengatakan padanya.

DEGUP RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang