Dont_Give_Up_On_Me

66 5 1
                                    

" Kamu mau kan?"

Dian menggeleng lemah, binar mata lelaki itu redup.

" Kenapa?" Lirih Karin.

" Aku gak bisa."

Karin menatap nanar lelaki didepannya. Dia melepaskan tautan tangan mereka.

" Kamu udah punya perempuan lain? Yang lebih baik dari aku? Yang lebih cantik dari aku? Yang lebih galak dari aku? Yang lebih segala-galanya dari aku? KAMU UDAH PUNYA?" Karin meledak dengan air mata yang menetes deras. Senyumnya hilang, digantikan wajah penuh kecewa.

Dian menggeleng cepat,
" Aku gak pernah dekat sama perempuan mana pun Rin."

" Terus kenapa kamu gak bisa Dian," Karin duduk lemah diatas kasurnya.

" Rin, perjodohan itu amanah almarhum Oma kamu Rin, aku gak bisa ngecewain keluarga kamu."

" Terus aku?"

" Aku gimana Dian?"

" Rin, mungkin ini memang jalannya. Kita berdua diciptakan untuk saling mencintai tapi bukan untuk saling memiliki. Kita gak bisa paksa kehendak Tuhan Rin, kamu sendirikan yang bilang keluarga segalanya buat kamu. Terus kenapa kamu mau nyakitin keluarga kamu sekarang?"

Karin menutup wajahnya dengan kedua tangan yang gemetar.
" Aku gak bahagian Dian, aku gak bahagia."

Dian menggeleng,
" Kamu pasti bahagia Rin, kamu bisa. Kita berdua bisa. Kenapa kamu tiba-tiba jadi gini?"

" Aku sayang sama kamu lebih dari apapun Dian, please ngertiin aku."

" Rin,"

Karin mendongak, matanya memerah.
" Please, don't give up on me."

" Aku bakal mati kalau kamu tinggalin aku."

Dian meremas kuat tangannya, jantung nya berdetak lemah. Setelah  mengenal Karin 6 tahun, ini pertama kalinya Karin terlihat benar-benar lemah. Gadisnya terlihat kesakitan.

" Please."

Dian maju meraih tubuh lemah Karin, memeluknya erat membagi kekuatan. Mengusap air mata gadis itu.

" I Will fight for you. Bahkan sampai nafas terakhir aku."

***

" Eh udah sampai, masuk-masuk."

Dian dan Karin melangkah beriringan.

" Pasti kalian main dulu tadi kan?"

Dian terkekeh,
" Main apa om?"

Delon menggeram kesal,
" Kamu bener-bener mau om tendang?"

Dian tertawa riang, Karin dan Alisa kompak menggeleng tak habis pikir.

" Jadi mau makan apa? Biar Tante masakin."

Karin mendelik,
" Mah, yang anak mamah itu Karin loh. Bukan Dian. Yang sakit juga Karin bukan Dian."

Alisa mencubit gemas pipi putrinya.
" Ya ampun dek, kamu gak perlu cemburu sama mamah. Mamah tuh udah punya papah loh."

Karin menggeleng cepat,
" Adek tetap gak percaya."

Alisa menggeram,
" Pah, lihat nih adek."

Delon menggeleng,
" Mamah sama adek sama aja. Dian kamu sama om aja kalau gitu."

" PAH."
Delon dan Dian tertawa terbahak-bahak. Melihat dua perempuan beda generasi itu kompak melotot.

" Udahlah, mamah buatin minum dulu."

Karin beralih menatap Dian,
" Mau ikut ke kamar?"

Delon langsung berdiri. Membuat Dian dan Karin terkejut karena gerakan tiba-tiba nya.

" Papah susul mamah dulu, kalian jangan lupa batas!"

Karin mengangguk cepat. Sementara Dian masih menenangkan detak jantungnya.
" Gue pikir gak bakal dibolehin, syukur syukur."

***
" Ngomong-ngomong tunangan kamu kemana? Udah balik?"

Karin menggeleng,
" Enggak tau dan enggak perduli!"

Dian menyeringai,
" Jadi kamu cuman peduli sama aku ceritanya?"

Karin mengangguk.
" Cuman kamu. Dan selamanya tetap kamu."

Dian tersenyum lebar, dadanya berdesir.
" Jago banget gombalin anak orang."

Karin terkekeh,
" Aku juga jago sesuatu loh. Kamu mau tau gak?"

Dian mengernyit bingung,
" Apa?"

Karin melangkah perlahan. Dia duduk di samping Dian, lalu menggerakkan tangannya mengelus pipi pemuda itu.

" Ri- Rin kamu mau ngapain?"

" Kok gagap gitu? Emang nya aku gak boleh elus pipi kamu?"

Dian menahan ludah nya kasar,
" Rin nanti Tante masuk,"

Karin tertawa kecil,
" Kamu lupa kalau kita ke tangkap ciuman di rumah sakit seminggu yang lalu?"

Dian mengumpat dalam hati,
" Iyah, tapi itu kan-"

Cup.

Dian terpaku dengan mata melebar.

" Makasih udah jagain aku. Makasih udah temenin aku. Makasih udah suapin aku makan. Makasih udah temenin aku ke taman. Makasih udah buat aku ketawa. Dan yang terakhir,"

" Makasih udah buat aku bahagia."

Dian tersenyum lebar dengan wajah yang memerah malu. Hatinya berdesir dengan jantung yang berdetak kencang. Sejak 6 tahun lalu, Karin memang sesuatu.

" Jantung aku detak nya kencang banget,"

Karin mengernyit bingung,
" Kenapa?"

5 menit kemudian wajah bingungnya digantikan wajah penuh kekhawatiran.

"Kamu sakit yah? Kok kamu gak bilang kalau lagi sakit. Kamu tuh suka banget buat aku khawatir. Sekarang ayo ke rumah sakit, aku takut kamu kenapa-napa."

" Hei, hei enggak. Bukan Rin. Aku gak sakit."

" Terus kenapa ihh, kamu jangan nakut-nakutin aku."

Dian tersenyum,
" Aku tuh cuman deg-deg an."

" Hah?"

" Iyah, deg-deg an karena kamu puji-puji."

" Astaga," Karin memukul kesal bahu Dian.

" Kamu sekhawatir itu sama aku?"

Karin mengangguk,

" Kenapa gak dari dulu?"

" Hmm?"

Dian tersenyum tipis.
" Kenapa dulu kamu selalu gengsi buat nunjukin perasaan kamu?"

Karin terpaku,

" 2 tahun lalu saat aku kecelakaan kenapa kamu gak sekhawatir ini?"

" Karena,-"

" Karena apa?"

" Karena aku akhirnya tau rasanya kehilangan kamu itu menyakitkan."

Dian menatap dalam wajah sendu Karin.

" Aku gak akan mau kehilangan kamu untuk kedua kalinya."

" Karena itu, aku bakal keluarin semua perasaan aku ke kamu. Semua rasa cinta aku, rasa sayang aku, dan rasa rindu aku."

" Aku gak akan gengsi lagi, jadi please tetap kaya gini. Perjuangin aku terus, karena aku juga gak pernah berhenti buat perjuangin kita."

Dian tersenyum lebar, tanpa lama dia langsung meraih Karin dalam pelukannya dan menciumi seluruh permukaan wajah gadis itu.

" I love you so much."

" I love you to."









________________

25 Juni 2021

Manis gak sih?













...CINTA SEORANG LELAKI...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang