14. Kembali

146 17 0
                                    

Pelukan erat itu ia terima dari seseorang yang berbadan jauh lebih besar dari Rayadinata. Mahendra, paman tiri Rara sekaligus adik Julianto, mendekap raga mahasiswi itu dengan hangat, membuat Rara kembali menangisi seseorang yang sudah terkubur di area pemakaman tak jauh dari rumahnya.

Mahendra, yang sudah dua tahun ini tinggal di Singapura dan menetap di sana untuk menemani sang putri melanjutkan studinya, pulang ke Indonesia dengan maksud menikmati libur curian selama dua pekan, berhubung putrinya yang bernama Laksita itu sedang mengikuti program pertukaran mahasiswa di China. Mahendra tidak pernah menyangka kalau kabar kematian keponakannya-lah yang akan menyambut kedatangannya begitu ia tiba di mulut gang. Bendera putih yang dipasang di pertigaan jalan, raut wajah terkejut para tetangga yang mengenali Mahendra, kemudian pria paruh baya itu diarahkan ke rumah salah satu warga, disusul adik Ketua RW yang juga teman sekolah Mahendra berlari tergopoh-gopoh setelah dikabari oleh seseorang.

"Hen, maaf. Mas Arsa sudah ndak ada, kecelakaan semalam." Begitu kira-kira kalimat yang diucapkan oleh Haris, adik dari Ketua RW tempat Julianto tinggal, pada Mahendra yang masih bingung dengan perangai para tetangga begitu Mahendra tiba. Bagai petir menyambar di siang hari yang cerah, tentu saja Mahendra Sudjatmiko terkejut bukan main. Berkali-kali ia memastikan kenyataan tersebut pada Haris, yang dengan sendu dijawab dengan pernyataan yang sama: Arsadinata tewas dalam kecelakaan.

Menurut cerita yang Mahendra terima dari abangnya, Arsa keluar dari rumah hanya berselang sepuluh menit sebelum Julianto berpamitan untuk pergi melayat. Berdasarkan pengakuan Rara, yang diceritakan kembali oleh Julianto, Arsa berniat untuk membeli pukis dan nasi goreng yang ada di Kotabaru.

Tidak ada yang bisa menjelaskan kenapa Arsadinata justru ditemukan di daerah Krasak Timur. Seharusnya, dia tidak perlu melewati rute itu untuk menuju ke dua destinasi yang disebut-sebut oleh kakaknya. Ia ditemukan di tengah jalan oleh pria bernama Brian, pemilik bengkel dan tambal ban di sekitar lokasi, yang kebetulan baru saja kembali dari rumah sakit setelah menjaga ibunya yang sedang dirawat inap. Melihat kondisi Arsa yang mengenaskan tentu membuat Brian dilanda syok selama beberapa saat, sebelum ia berlari menuju Polsek Danurejan meminta pertolongan, meninggalkan motornya yang masih terparkir di depan bengkel bahkan dengan kunci tertancap.

Petugas yang menangani pun mengatakan pada Mahendra, kalau jalan tersebut terkenal sangat sepi di atas pukul delapan malam. Biasanya, keberadaan bengkel milik Brian-lah yang menjadi semacam penanda kehidupan di sana. Kebetulan sekali ibu Brian, yang bekerja sebagai petugas pengumpul sampah, masuk rumah sakit dua hari sebelumnya setelah mengalami keracunan makanan. Konon katanya, perempuan paruh baya itu langsung muntah-muntah setelah menyantap nasi kotak pemberian seseorang yang ia dapat setelah menyetorkan sampah.

Kalau bukan karena kartu pelajar yang selalu dibawa Arsa ke mana pun ia pergi, polisi pasti kesulitan untuk mengidentifikasi korban. Pasalnya, wajah pemuda itu sulit dikenali—babak belur khas pasca dipukul menggunakan benda tumpul. Dalam kata lain, kematian tersebut jelas bukan disebabkan oleh tabrak lari semata. Baik petugas yang langsung tiba di TKP juga Brian, keduanya sama-sama mengatakan kalau wajah Arsa seperti berendam dalam genangan darah yang semua berasal dari kepalanya. Mereka juga bersaksi tidak menemukan helm hitam yang disebut-sebut oleh Rara.

Mahendra Sudjatmiko tidak perlu diberi penjelasan lebih lanjut lagi. Apabila praduganya benar, helm itulah yang digunakan untuk menghantam wajah juga kepala Arsadinata sampai mati.

Ia amati kakak laki-lakinya yang duduk di teras rumah, tampak berbicara dengan kakak tertua Haris entah membahas apa. Tak ada senyuman di wajahnya, tetapi Julianto lebih tabah dibanding putri angkatnya yang seperti tak punya semangat hidup. Walaupun air matanya terus mengalir tanpa henti, Mahendra tahu Rayadinata masih menahan diri. Tangan Mahendra kembali mengusap punggung Rara, berusaha menunjukkan kalau Rara dan Julianto tidak sendirian. Mahendra akan tetap bersama mereka, memutuskan untuk meninggalkan Laksita sementara waktu, sampai ia mengusut kematian keponakannya dengan tuntas.

Oh, membayangkan bagaimana ia harus memberi tahu putri semata wayangnya soal kematian Arsa membuat Mahendra pening.

Punggung Rara tiba-tiba bergetar, mengalihkan fokus Mahendra. Urusan Laksita, bisa dipikir nanti. Sekarang, lebih baik ia fokus pada Rayadinata juga Julianto lebih dahulu.

"Nggak apa-apa, Nduk, luapin aja."

Dan sesuai dengan kata-kata Mahendra, Rayadinata menangis sejadi-jadinya di dada bidang pamannya itu, entah sudah berapa kali membisikkan kata maaf kepada Arsa yang tak lagi bersama mereka.

Maaf yang tidak akan pernah mengembalikan semuanya.


◤━━━━━━━━━━━◥


Ia bersiul sambil membuka pagar berwarna hitam, berjalan melintasi halaman rumah yang asing tetapi menjadi tujuan akhir Heksandriya hari ini. Seseorang yang tetap bertahan selama bertahun-tahun sudah menunggunya saat ini, tak sabar untuk melihat seperti apa rupa Heksa sekarang.

Ah, Heksa saja juga tidak sabar untuk melihat adakah perubahan di wajah sang kakak.

Pintu rumah itu dibuka dari dalam, menampilkan perempuan berusia kurang lebih 27 tahun berdiri di balik pintu dengan ekspresi terkejut. Mengenakan gaun sepanjang lutut berwarna terakota, semakin menonjolkan paras ayunya yang masih tetap sama seperti saat ia masih di bangku SMA dulu. Rambutnya kini dipotong sebahu, dan berbeda dari ingatan Heksa dahulu, kini tubuh kakaknya terlihat lebih pendek dari dirinya.

Hayuning berjalan mendekati pemuda yang kini berdiri di teras, tersenyum separuh ke arahnya. Ia sentuh pipi pemuda itu, menelusuri setiap lekuk wajahnya, berusaha mengingat seperti apa rasanya saat Hayu mengusap pipi Heksa semasa ia masih duduk di bangku SD. Rahangnya kini lebih tegas, lemak di pipinya sedikit berkurang, tetapi Hayuning masih bisa mencubit pipi pemuda itu. Sorot matanya kini lebih tajam, tubuhnya jauh lebih tinggi dari sebelumnya.

Namun, dia tetaplah Heksandriya, adik laki-laki kesayangan Hayuning.

"Mbak Hayu." Suaranya lebih berat, dan itu membuat Hayuning meneteskan air mata yang sejak tadi sudah ia tahan. Tanpa ragu ia rengkuh tubuh sang adik, mendekapnya erat, takut jika ia melepaskan pelukan itu, Heksa akan menghilang lagi.

"Heksa." Hayu terisak, berusaha memeluk adiknya lebih erat. Entah sudah berapa lama Hayu menahan diri untuk tidak bertanya atau memohon supaya diizinkan untuk bertemu dengan sang adik. Sesekali ia merasa ragu, apakah benar Heksa masih hidup di dimensi yang lain, seperti yang dikatakan oleh dia.

Namun, apa yang dijanjikannya pada Hayu benar-benar terjadi. Heksa sudah kembali, tumbuh besar dan tampak sehat, sesuai dengan asa yang selalu Hayuning rapalkan setiap hari.

Keajaiban yang dia berikan sungguh terjadi, sesuai dongeng dari Hadrian.

"Mbak Hayu, terima kasih udah mau nungguin Heksa, ya?"

After MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang