15. Keputusan Berbahaya

182 15 0
                                    

Hendrasaka menghela napas dengan kasar. Seharusnya ia sadar sejak awal. Hendy merupakan salah satu dari beberapa orang yang memiliki tingkat sensitivitas lebih tinggi daripada manusia lainnya. Dengan kelebihan itu, harusnya ia menyadari ada yang salah dari siaran radio yang selama beberapa hari ini didengar oleh kawannya.

Kalau itu siaran radio gaib yang dilakukan oleh hantu, seharusnya Hendy juga bisa mendengarkannya. Namun, karena itu semua terjadi di sisi dunia yang lain, ditambah Heksandriya sebetulnya masih berstatus manusia, maka Hendy tidak bisa mendengar apa pun.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri setelah ia pulang dari pemakaman Arsa dan berpapasan dengan seorang pemuda.

Pemuda yang auranya luar biasa jahat, aura yang langsung dikenali Hendy sebagai kaki tangan iblis atau sering biasa disebut sebagai Hulubalang. Meskipun kemampuan psikis Hendy terbilang rendah di kalangan para Donatus, saking besar dan kuatnya aura kegelapan para Hulubalang, Hendy bisa mengenali mereka di antara manusia lainnya. Dan dari sanalah Hendrasaka akhirnya benar-benar mengerti semua kejadiannya, tanpa Rara bercerita kepadanya.

Kini, ia dan Rayadinata duduk di koridor fakultas mereka, menunggu hujan reda. Langit Sleman siang ini gelap gulita, sepenuhnya tertutup mega kelabu, tidak memberi kesempatan barang satu jam saja bagi matahari untuk unjuk gigi sejak pagi tadi. Mendung sudah mengancam Hendy ketika ia baru saja mengeluarkan motor dari garasi rumah kakeknya, memaksa supaya pria itu membolos kuliah dan berdiam diri di rumah. Namun, pesan singkat dari Rara semalam yang berkata kalau ia akan kuliah hari ini mengurungkan niat buruk yang selalu ada dalam benak Hendy tersebut.

Benar saja, hujan turun dengan derasnya di mata kuliah kedua hari ini, mengakibatkan banyak mahasiswa terjebak di gedung kampus begitu kelas mereka selesai, termasuk dua insan yang sibuk mengamati hujan yang terus mengguyur bumi tanpa henti.

Per hari ini, Rara sudah bisa tertawa seperti biasa, tapi Hendrasaka tahu kalau ia sebenarnya memikirkan sesuatu.

"Ra?"

"Hm?" Rara, yang sejak tadi sibuk memperhatikan Rinjani Wijanarko tengah mengobrol dengan wakil dekan fakultas mereka sambil memainkan cincin hitam yang dikenakan dara bersurai pirang itu pun menoleh ke arah temannya, terlihat kebingungan karena dipanggil secara tiba-tiba. "Kenapa?"

"Kalau boleh tahu, kamu dulu ketemu Pak Anto gimana ceritanya?"

"Ah, itu. Jadi, aku dulu hiking sama papa kandungku dan beliau nggak sengaja kepeleset di pinggir jurang. Orang itu kalau mau jatuh, secara insting pasti berusaha nyari pegangan, dan mendiang Papa tanpa sadar pegangan ke aku; otomatis aku ikut ketarik dan harus nahan beban pria dewasa. Aku udah hampir ikut jatuh, tapi pas Papa nyerah dan milih buat ngorbanin diri sendiri, Bapak (Julianto) narik aku dari sana. Kayanya kalau nggak ditolong sama bapak, aku bakal mati juga, Hen."

Jadi, itu benar. Rayadinata memang orang yang selama ini diincar sang iblis itu sendiri, manusia yang konon katanya diberi julukan sebagai Tiket Emas alias mereka yang lolos dari daftar kematian milik malaikat maut karena diselamatkan oleh seseorang.

Dan pemuda yang ia lihat beberapa waktu lalu, sudah melakukan tugasnya dengan baik. Hendy melirik ke jari manis Rara, melihat tato tak kasat mata berbentuk garis hitam sederhana melingkari jari yang terukir di sana, tanda calon mempelai seorang pengikut iblis. Rayadinata mungkin tak menyadari keberadaan 'aksesoris' tambahan itu, tetapi Hendy serta mereka yang 'istimewa', baik dari pihak iblis maupun musuhnya, jelas mengenali tato yang akan selalu melingkar di jari manis kiri para calon pasangan Hulubalang.

Tato yang, uniknya, akan menghilang dengan sendirinya begitu mereka resmi menikah dan memiliki keturunan.

Rupanya, dia sudah selangkah lebih maju, dengan enggan Hendy mengakui hal itu. Dan keputusan pria itu nantinya tentu akan membuat sang iblis melakukan jamuan dadakan di neraka.

Namun, bagi Hendrasaka, pertemanan lebih penting dari semuanya. Keselamatan manusia seperti Rara lebih penting dari takdirnya kelak.

"Ra."

"Kenapa, sih? Ra, Ra, mulu."

Hendy tak segera merespons. Kedua matanya mengawasi Ririn yang sudah berjalan menjauh menuju tangga, berpisah dengan wakil dekan yang mengambil arah jalan berbeda. Ia dan kakak tingkat fakultasnya itu sempat beradu pandang, saling melempar senyum sebelum sama-sama berpaling dalam hitungan detik.

Ramah-tamah dibumbui suasana canggung itu terjadi gara-gara Hendy bisa dibilang cukup kenal dengan Tendraditya alias DJ Adit, yang mana merupakan sepupu Rinjani. Otomatis, ia dan Ririn jadi 'mengenal' satu sama lain. Kurang lebih hubungan mereka mirip dengan Rara dan Jonathan.

"Hen?" panggil Rayadinata.

"Aku bakal gabung setelah kamu nikah nanti."

Air muka Rayadinata awalnya tampak tak mengerti. Ia mengernyit; terbentuk karutan halus nan samar di dahinya, yang tentu tak serta merta mengurangi paras ayu nan manis yang ia miliki. Namun, begitu netranya bertukar pesan dengan milik Hendy, barulah dara itu memahami apa maksud dari perkataan kawannya. Ekspresi wajahnya pun langsung berubah. Ia sadar apa yang hendak dilakukan oleh Hendy, karena Heksa sudah menceritakan itu kepadanya; tentang hubungan seorang Hendrasaka Lestyanovan dengan ini semua. Kepalanya ia gelengkan kuat-kuat, matanya mulai berkaca-kaca.

"Jangan."

Hendy memamerkan senyum terbaiknya. "Nggak apa-apa. Kayanya semua ini emang disengaja, mulai dari si penyiar radio gaib itu hilang sampai akhirnya kamu jadi calon istri dia. Dari sebelum kita ketemu, sebenernya aku juga udah diajak jadi bagian mereka, tapi selalu kutolak karena satu hal dan lainnya. Tapi, kayanya kali ini harus kuiyain, ya, Ra?"

Bibir Rara bergetar. Mati-matian ia tahan hujan yang siap turun deras dari ujung matanya. "Hendy ...."

"Seenggaknya biar kamu aman terutama pasca pernikahan kalian kelak, Ra. You can never trust it, semanis dan semenyenangkan apa pun janji-janji yang dia berikan. Aku juga nggak yakin tunangan-mu itu bakal ngelindungin kamu nanti, makanya keputusanku udah bulat. Biar aku yang jagain nanti, anggap aja sebagai gantinya Arsa."

"Hen?"

"Ya?"

"Apa pun keputusannya nanti—"

"Kita laluin sama-sama." Genggaman tangan Hendy pada Rara kian erat, entah untuk menguatkan jiwa perempuan di sebelahnya, atau untuk dirinya sendiri. "Sama-sama, satu sama lain."

Dan saat Rara kembali luluh lantak setelah mati-matian menyusun kembali pondasi mentalnya pasca kematian Arsa, Hendy yakin kalau keputusannya tepat. Ia mengalah, demi seorang manusia yang terseret ke dalam permainan sang iblis, juga calon jiwa yang kelak dinantikan para penghuni neraka.

Jiwa yang terbentuk dari Tiket Emas dan Hulubalang ibarat jackpot yang selama ini dinantikan oleh mereka yang berada dalam kegelapan, dan ditakuti oleh para musuhnya.

After MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang