Enam belas

2.3K 460 56
                                    

Indria menatap kosong tanah basah didepannya. Bunga aneka warna ditaburkan sebagai harap agar yang bersemayam di sana diliputi kebahagiaan. Wajah perempuan itu masih terlihat pucat dengan bibir yang terus bergetar merapal doa.

Angin sepoi sedikit mengayun kerudung hitamnya.

"Kita pulang?" Sentuhan tangan Radit di bahu membuatnya menoleh. Kini hanya ada Radit di dunianya. Tak ada lagi orang yang peduli kecuali pria tampan yang kini tengah tersenyum menatapnya.

Lemah ia menganggukkan. Mereka berdua berjalan bersisian.

"Kamu pulang diantar Haryo sopirku. Aku harus balik ke kantor," tutur Radit saat mereka telah keluar dari komplek pemakaman.

Mata Indria membidik Radit penuh harap.

"Kamu nggak pingin antar aku? Aku sendirian, Radit."

"Maaf, Indria ... ada banyak hal yang harus aku selesaikan. Mungkin aku akan atur waktu nanti ya."

Ada raut kecewa di wajah perempuan berambut sebahu itu. Ia ingin saat ini Radit ada di sisinya, menghibur dan menemani sepi yang baru saja hinggap di hidupnya. Kehilangan Salma adalah hal yang tak mudah. Jika dulu ia merasa tidak masalah saat harus berjuang sendiri tanpa keluarga, kini ia merasa benar-benar rapuh.

"Aku butuh kamu, Mas," lirihnya pilu.

Radit menarik napas dalam-dalam lalu mengusap bahunya.

"Aku paham. Sebaiknya kamu pulang dan menenangkan diri di rumah. Kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi aku."

Kecewa keinginannya tak direspon dengan baik oleh pria itu, Indria mengangguk pelan.

"Pulanglah!"

Perempuan berbaju hitam itu melangkah menjauh. Sementara Radit terlihat menelepon seseorang. "Jemput aku, Ardan!"

🍁🍁

Bu Rahmi dan Tiara tertawa mendengar cerita Rayhan. Adik Radit itu pintar menghidupkan suasana. Malam itu selepas makan malam mereka bertiga menghabiskan waktu di ruang tengah sambil menikmati minuman hangat buatan Tiara.

"Mbak Tiara! Apa Mbak nggak pengin bikin usaha gitu selain perusahaan yang Mbak punya sekarang?" tanya Rayhan.

"Usaha? Usaha apa?"

Rayhan mengatakan bahwa Tiara punya kepiawaian dalam mengolah masakan juga minuman.

"Kenapa nggak buka restoran gitu?"

Bu Rahmi menatap menantunya antusias.

"Ibu rasa itu ide bagus, Tiara. Kamu juga bisa lebih mengambangkan hobi juga bisa dikenal orang banyak!"

Bibir Tiara mengembang. Sesungguhnya sudah lama ia menginginkan hal ini, tapi tidak ada satu pun orang yang bisa dimintai pendapat.

"Ide bagus! Tapi ... bagaimana konsepnya, Bu?"

"Mungkin Rayhan punya solusi," jawab Bu Rahmi.

"Kalau konsep dan lainnya ... aku punya kenalan yang jago masalah itu, Mbak. Namanya Mas Rama. Dia kawan Mas Radit waktu kuliah," terang Rayhan.

"Kenapa bukan Mas Radit aja, Ray? Kenapa harus kawan Mas Radit?" Ibunya bertanya.

"Mas Radit kan sudah cukup sibuk sama perusahaan Mbak Tiara, Bu. Lagipula ... kalau jadi perceraian itu ...." Rayhan menggantung kalimatnya menatap Tiara.

Tiara mengangguk.

"Aku paham! Tapi ... apa Rama tidak keberatan dengan kondisiku yang ...."

Seolah tahu apa yang akan diucapkan kakak iparnya, Rayhan segera menggeleng. Ia memastikan bahwa Rama sangat bisa menerima.

Dia yang Kau Sebut Rumah. Selengkapnya Di KBM AppTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang