Delapan belas

2.2K 289 31
                                    

Radit mengernyitkan dahi membalas tatapan Indria. Meski sebenarnya dia sedikit bisa membaca arah pembicaraan perempuan itu.

"Bagaimana? Mau ya?" mohonnya.

Radit menghela napas kemudian berkata, "Aku kabari nanti ya. Maaf aku terburu-buru!" 

Pria itu gegas mengayun langkah keluar rumah Indria kemudian segera masuk mobil. Sementara langkah Indria berhenti saat pria itu menyalakan roda empat miliknya.

"Hati-hati, Mas! Aku tunggu kabarnya ya!" ucapnya seraya melambaikan tangan.

Sepanjangan perjalanan menuju kantor, Radit memikirkan permintaan Indria. Bukan dia tidak tahu apa maksud perempuan itu. Namun, saat ini dirinya tidak lagi memiliki keinginan itu.

Permintaan cerai Tiara dan perasaan aneh yang mulai menyapa hatinya menjadikan ia sulit berkelit. Jika dulu dia menyanggupi permintaan Salma, lebih pada perasaan iba terhadap gadis kecil itu. Sedangkan perasaannya sendiri pada Indria sulit untuk diterjemahkan. 

Bukan cinta seperti yang sering tertulis di kisah perselingkuhan, tapi lebih karena alasan kemanusiaan. Melihat Indria tak berdaya seorang diri, dan memiliki anak yang sedang sakit parah bukan perkara mudah. Saat itu ia ingin menebus rasa bersalah saat hampir saja menabrak Salma. 

Kabar pernikahan dari kedua orang tuanya yang mengatakan akan segera dilangsungkan membuat Radit meradang. Bagaimana mungkin dia harus menikah dengan perempuan yang ia bahkan tidak pernah tahu sebelumnya. Perempuan yang konon memiliki kekurangan dalam pendengaran. Seluruh dunia seolah menghukumnya saat itu. 

Dia masih ingat bagaimana dengan jumawa ia membawa Indria dan Salma datang ke rumah dan mengungkapkan akan menikah. Namun, seperti yang diduga, tentu saja kedua orang tuanya menolak mentah-mentah keinginannya itu.

Pernikahan yang telah terjadi karena utang keluarga, membuat Radit merasa dijadikan tumbal. Sehingga kekesalannya memuncak melihat kondisi Tiara saat itu. 

Awal- awal pernikahan adalah neraka baginya. Terlebih saat kedua orang tua sang istri masih ada. Ia dipaksa untuk berpura-pura bahagia. Sebagai pria, ia tentu menginginkan kebahagiaan murni dalam sebuah pernikahan. Akan tetapi, kenyataannya dirinya harus bisa menelan bulat-bulat bahwa ia menikah karena membalas kebaikan keluarga Tiara.

Kebencian itu terus berlanjut, bahkan sengaja ia pupuk. Meski dia tahu itu tidak adil bagi Tiara. Namun, dirinya sama sekali tidak peduli, bahkan dia akan sangat senang jika melihat Tiara bersedih.

 Semua kesedihan sang istri dia nikmati dan berharap perempuan itu marah lalu meminta bercerai, dengan begitu dia bisa dengan mudah memutuskan ikatan pernikahan itu. Karena jika dia yang menceraikan, sudah barang tentu sang ibu tidak akan setuju.

Namun, sekeras apa pun kebencian yang ia tabur, tidak sepadan dengan apa yang ia dapat. Tiara tetap bersikap baik padanya. Hal itu jelas ia rasakan, hingga akhirnya sang istri tampak begitu dekat dengan Ardan asistennya. 

Terlihat nyata di matanya, bagaimana paras bahagia Tiara saat tertawa saat bersama Ardan. Istrinya itu tampak sangat menikmati kebersamaan dengan asistennya itu. Ada sudut hati yang memanas kala ia tahu bahwa justru Ardan yang tahu kegemaran Tiara. 

Dadanya bergejolak kala dia tahu Ardan sering menelepon dan mengirim novel atau buku bacaan kesukaan sang istri. Ada keping sesal yang kian lama kian menumpuk di hatinya.

 Ada amarah yang entah untuk siapa tiba-tiba saja bersarang di kalbunya, setiap kali menyadari ia tak bisa memberi senyum di bibir Tiara. Terlebih saat sang adik lebih bisa membawa Tiara mengobrol asyik dengannya. 

Kini dia dalam bimbang, satu sisi sang ibu telah dengan tegas memintanya menceraikan Tiara. Sementara di sisi lain, hatinya seolah dikoyak ketika menyadari bahwa Tiara pun telah meminta untuk melepaskan dirinya. Sementara perlahan ia justru mulai merasa kehilangan.

Dia yang Kau Sebut Rumah. Selengkapnya Di KBM AppTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang