Lima belas

2.2K 446 82
                                    


Radit bangkit mendekat memangkas jarak sehingga Tiara benar-benar bisa merasakan embusan napas pria yang telah menjadi dunianya itu. Ia menunduk menghindari netra yang kian mendekat membidiknya.

"Tatap mataku, Tiara. Katakan jika kamu tidak mencintaiku!"

Tiara masih menunduk, sekuat tenaga ia mencoba mengemas air mata. Melihat sang istri masih pada posisinya, lembut Radit menangkap wajah cantik Tiara.

"Kenapa tidak menatapku, Tiara? Beri aku kesempatan untuk menyelesaikan semua ini. Beri aku waktu untuk memperbaiki hubungan yang hendak kamu akhiri ini," tuturnya lembut.

Pelan Tiara mengangkat wajahnya sehingga jelas terbaca mata Radit menatap dirinya penuh harap. Entah apa yang ada di kepala pria itu. Beberapa hari berdua dengan Tiara membuat dirinya berubah.

"Kamu tidak mencintaiku, Radit. Kamu mencintai Indria ...." Tiara menunduk. Ada ngilu terasa merasuk ke dada Radit mendengar ucapan istrinya. Perkataan itu juga yang pernah dia lontarkan pada Tiara saat ia merasa perempuan itu terlalu mengganggunya.

Jika dulu ia sebal dengan semua perhatian sang istri, kini justru dirinya berharap Tiara bisa kembali seperti dulu.

"Sudahlah, Mas. Urus saja surat perceraian kita."

Radit masih diam sementara posisi mereka tak berubah. Pikirannya melayang pada Salma, gadis kecil itu harus menanggung sakit yang tidak ringan. Kangker darah merenggut masa kecil yang seharusnya dilewati dengan bahagia, harus pupus dengan sejumlah daftar pengobatan yang harus ia jalani. Sementara Indria harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan mereka berdua.

Suara Isak sang istri membuat Radit tersadar dari lamunan. Menahan gundah di hatinya, Radit meraih tubuh Tiara lalu mendekapnya erat.

"Ceraikan aku, Mas."

🍁🍁🍁

Sejak tiga jam yang lalu Radit hanya menatap layar tujuh belas inci di depannya tanpa berbuat apa-apa. Sementara di sofa tampak Ardan tengah serius menjadwal pertemuan Radit dengan beberapa klien.

Pikiran pria itu melayang pada permintaan Tiara. Dua hari sudah dia berada di rumah, sedangkan sang istri masih di rumah ibunya. Sebelum berangkat, sang ibu kembali mengultimatum dirinya agar segera melepas Tiara demi kebahagiaan perempuan itu.

Rasa sayang sang ibu terhadap Tiara membuat Radit berpikir bahwa ibunya sama sekali tidak memikirkan perasaannya.

"Apa aku pria brengsek, Ardan?"

"Mungkin begitu!" sahut Ardan santai dengan senyum simpul.

Radit membidik pria yang memang dekat dengan istrinya itu.

"Apa tidak ada celah untukku membela diri?"

Ardan mengangkat bahu.

"Aku rasa itu sudah tidak berguna, Bos!"

"Apa kamu mencintai istriku?"

Jari Ardan yang sejak tadi mengetik mendadak berhenti saat pertanyaan lugas itu terdengar. Tiara bukan perempuan baru baginya. Ia tahu seperti apa istri atasannya itu. Bahkan kini ia ingin membantu agar Tiara bisa berkomunikasi lebih baik lagi. Saat angannya soal Tiara tercipta, muncul bayangan perempuan manis yang setia menanti di sebuah kota kecil kelahirannya. Amelia, perempuan yang telah ia sematkan cincin di jari manisnya.

"Ardan! Kenapa diam? Apa kamu mencintai istriku?"

"Aku hanya ingin membuat Tiara tidak sendirian. Itu aja!" jawabnya diplomatis.

"Maksudmu?"

"Sama sepertimu! Kamu juga tidak ingin Indria merasa sendiri, kan?" sindirnya kembali menatap laptop.

Dia yang Kau Sebut Rumah. Selengkapnya Di KBM AppTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang