Ruangan itu dilanda keheningan berkepanjangan. Chanyeol yang duduk di kursi kebesaran itu enggan untuk kembali membuka mulutnya. Yang ia lakukan hanya memberi isyarat kecil kepada anak buahnya yang langsung membuat pria itu bersujud.
Erangan pelan lolos dari bibirnya kala kedua kakinya menabrak ubin ruangan itu dengan cukup keras. Wajahnya yang terus ditundukkan sedari tadi diangkat paksa oleh pria kekar di dekatnya.
Suara ketukan ritmis pada meja kerjanya kini adalah satu-satunya bunyi yang hadir. Pria yang dipanggil direktur itu terus mengalihkan tatapannya ke mana saja kecuali Chanyeol.
"Ah, apa dia putrimu?" Chanyeol meraih sebuah pigura yang berada tak jauh darinya, "dia terlihat sangat bahagia."
Pupil direktur itu bergetar kala mendengar anak semata wayangnya disebutkan. "A-apa yang mau Anda lakukan padanya?" ia membuka mulutnya, menatap langsung kepada pria yang duduk santai di kursi kebesarannya, "jangan sakiti dia!"
"Apa ada alasan bagiku untuk tidak melakukannya?" Chanyeol membalas, penuh keambiguan—entah merujuk kepada menyakitinya atau bukan.
"Bukankah Anda juga memiliki seorang anak? Bagaimana bisa Anda tega menyakitinya?!" raungnya kala mendengar balasan dari Chanyeol. Napasnya sedikit menggebu-gebu sebagai akibat dari pemberontakan kecilnya.
Chanyeol tertawa pelan. Ia meletakkan kembali pigura itu pada tempatnya sebelum bangkit untuk menghampiri direktur itu. Chanyeol lalu menyejajarkan dirinya dengan sang direktur yang kini menatapnya penuh emosi—marah, khawatir, tidak suka, gugup; semuanya bercampur menjadi satu.
"Aku tidak mendengar jelas apa yang kau ucapkan tadi. Bisakah kau mengulangnya?" Chanyeol menaikkan dagu sang direktur hingga mata mereka bertemu.
"Bukankah Anda sendiri memiliki seorang—" direktur itu tampak terkejut dengan perkataannya sendiri. Melihat Chanyeol yang menaikkan sebelah alisnya, menunggu lanjutan kalimatnya, direktur itu meneguk ludahnya dengan susah payah.
"… anak?" lirihnya pelan. Keberanian yang menyelimuti dirinya kala mengkonfrontasi Chanyeol sebelumnya kini menguap, berbaur dengan udara. Bola matanya melirik ke mana saja, asal tidak melihat sosok di hadapannya yang tengah menyeringai itu.
"Ah, untuk sesaat, kupikir telingaku bermasalah." Chanyeol tersenyum dingin. Aura yang menyelimuti dirinya terasa begitu gelap dan mengintimidasi.
"Jelaskan maksud kalimatmu barusan?" Chanyeol meminta, namun lebih terdengar seperti ancaman bagi pria di hadapannya itu.
"Atau kau lebih suka kekerasan?" Chanyeol menambahkan saat melihat direktur yang enggan menjawab pertanyaannya.
Chanyeol akhirnya memutuskan untuk berdiri dan menghela napas kasar. "Sepertinya dia lebih suka kekerasan," ujarnya saat tidak mendengar satu pun bunyi dari pria yang kini tengah mengalami konflik batin itu.
Saat para bawahannya hendak melakukan sesuatu, pria itu akhirnya menyerah. "T-tunggu! Akan kuberitahu, akan kuberitahu!"
Chanyeol bersedekap dada. Postur angkuhnya menunjukkan besarnya kekuasaan yang kini ada dalam genggamannya.
"Hasil tes DNA yang Anda lakukan beberapa waktu lalu," ucapannya menggantung beberapa saat, "aku memalsukannya."
Chanyeol hanya bergeming, tentu saja. Ia jelas sudah mengetahui kalau hasil tes itu palsu—berkat Sehun, alkohol, dan waktu yang mereka habiskan berdua.
"Teruskan."
Pria itu tampak ragu untuk waktu yang cukup lama. Namun saat mendapati langkah kaki yang hendak mendekat kepadanya, ia buru-buru melanjutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
EVENFALL
Fanfiction(n.) the onset of evening; dusk ... senja ★ Sehun, yang dulunya bekerja sebagai seorang host, memutuskan untuk berhenti dan mencari pekerjaan baru karena suatu alasan. Karena alasan itu pula, ia bertemu kembali dengannya. Dia, yang menjadi alasan ut...