"Yakin tidak mau diantar? Mobilku menganggur, loh!"Joanna menggeleng pelan, menolak niat baik Kenna yang ingin mengantarnya menuju apartemen pacarnya.
Tidak jauh, mungkin hanya setengah jam jika macet dan 20 menit jika tidak macet menurut Google maps.
"Naik apa? Serius mau pakai itu?"
Tanya Helen ketika keluar dari kamar mandi dan mulai menatap Joanna nyalang dari rambut hingga ujung kaki.
"Grab. Why not? I love this style."
"Ya, terserah lah!"
Setelah berpamitan, Joanna mulai berjalan riang menuju lobby berada. Berniat menunggu grab car pesanannya yang masih terjebak macet di jalan.
Satu jam kemudian Joanna tiba di depan unit apartemen pacarnya. Jantungnya berdegub kencang, kedua tangannya yang sedang membawa tote bag mulai berkeringat karena dia sengaja memberi kejutan.
Ceklek...
Setelah menekan kombinasi angka dan membuka pintu perlahan, nyali Joanna sedikit menciut ketika melihat banyak sepatu di sana. Baik sepatu laki-laki maupun perempuan.
"Sebelum datang ke sini, aku tidak sengaja berpapasan dengan perempuan udik. Dia memakai pantofel hitam dan celana baggy putih, kaos polos warna putih dan cardigan navy seperti tas selempang yang dipakai tadi. Ah, iya. Rambutnya dikuncir kuda tinggi sekali. Poni di dahinya juga sedikit panjang hingga mengenai frame kacamatanya tadi. Agak mirip dengan pacar Jeffrey yang ada di Solo. Kalau kataku, sih."
"Jangan-jangan itu memang pacarmu, Jeff? Mau ngasih kejutan, nanti malam 'kan hari ulang tahunmu."
"Tidak mungkin! Dia mana berani ke Jakarta sendiri. Lagi pula, nanti Rosa akan datang kemari. Bisa mati aku kalau mereka bertemu di sini."
"Hahaha! Kenapa? Takut?"
"Bukannya takut. Orang tuanya dan orang tuaku berteman baik. Bisa disunat lagi aku kalau sampai mereka tahu aku membuat anak itu menangis."
"Lalu, mau sampai kapan kamu pura-pura cinta padanya? Cukup bilang kamu tidak suka, yakali orang tuamu tidak bisa mengerti."
"Bukan begitu, masalahnya rumit. Orang tuaku ada hutang budi dengan keluarganya. Salahku juga sih, kenapa dulu sempat suka dan langsung mengajaknya pacaran. Ya sudah lah, let it flow saja. Nikmati masa muda selagi bisa. Masa depan tidak ada yang tahu, kan? Siapa tahu jodohku memang dia. Lumayan juga, bisa dapat perawan."
Gelak tawa mulai terdengar, namun Joanna mulai mengepalkan tangan dan mencengkram erat-erat dua tote bag yang berisi kue ulang tahun dan hadiah untuk kekasihnya.
"Kali ini pertanyaan serius, Jeff. Kalau disuruh memilih, kamu lebih memilih pacarmu itu atau Rosa?"
"Pilih untuk apa dulu, nih? Kalo pacar jelas Rosa, tidak membuatku malu jika diajak jalan. Kalau istri, tentu saja pacarku. Dia anak rumahan, baik, penyayang, pengertian dan pintar mengurus rumah."
"Itu istri atau asisten rumah tangga?"
"Apa bedanya? Seorang istri bukankah harus bisa segalanya?"
"Bajingan! Semoga jodohmu Rosa saja! Supaya hidupmu menderita di masa tua karena tidak ada yang mengurusmu di rumah!"
Galak tawa mulai terdengar kembali, namun Joanna sudah menitihkan air mata dan mulai membalikkan badan. Berniat pergi dari sana sekarang juga.
Tetapi, tiba-tiba saja pintu apartemen dibuka dari luar, oleh perempuan tinggi berambut pirang yang memakai jeans ketat dan crop tee tanpa lengan.
"Delivery food, ya? Aku saja yang bawa, sudah dibayar, kan?"
Joanna mengangguk singkat, kemudian memberikan dua tote bag tadi pada perempuan bak manekin di depannya.
Tanpa banyak bicara, Joanna langsung pergi. Dia lari secepat mungkin supaya kehadirannya tidak diketahui Jeffrey.
Lima tahun bukan waktu yang singkat. Ya, meskipun mereka tidak sering berjumpa. Tetapi, setiap hari mereka selalu bertegur sapa melalui media sosial dan tidak pernah sekalipun bertengkar hebat.
Setiap enam bulan sekali, mereka juga rutin bertemu di Solo. Ketika di hari-hari besar atau ketika libur panjang.
Serius, Joanna benar-benar tidak menyangka. Kalau Jeffrey atau yang sering disapa Iskan di desa sudah berubah menjadi laki-laki dewasa yang memiliki pikiran licik luar biasa.
Tbc...