Setelah satu hari hilang tanpa kabar. Joanna akhirnya kembali menghidupkan ponselnya. Semalam, dia langsung pulang ke apartemen dan menagis sejadi-jadinya. Untuk yang pertama kalinya juga, semalam dia meminum bir yang sengaja teman-temannya beli di supermarket terdekat. Beruntung mereka pintar dan langsung menjauhkan ponsel dari Jaonna. Sehingga gadis malang itu bisa terhindar dari buaya darat alias si mantan pacarnya.
Semalam adalah hari ulang tahun ke 23 Jeffrey. Bukannya senang, dia justru cemas sekali ketika Rosa datang dan membawa tote bag milik Joanna sebelum pergi.
Darimana Jeffrey tahu? Tentu saja dari kamera CCTV dan isi tote bag tadi. Di sana, ada kue ulang tahun dan kado berupa dasi berwarna navy dan surat yang ditulis tangan oleh Joanna sendiri.
Setalah membuka kado dan mengecek CCTV, Jeffrey langsung keluar apartemen. Mencari keberadaan Joanna di sekitar apartemen dan beberapa daerah terdekat. Berharap Joanna masih berada di sekitar. Nomor telepon dan berbagi media sosial miliknya juga sudah diblokir Joanna saat itu juga. Sehingga dia tidak diberi kesempatan untuk memberi penjelasan barang sedetik saja.
"BRENGSEK!"
Pekik Jeffrey ketika melihat postingan instagram Joanna dari Yeri yang memang sejak lama memfollow Joanna. Dia juga yang semalam berpapasan dengan Joanna, namun tidak sadar kalau itu dirinya. Kalau Yeri sadar sedikit saja, setidaknya Joanna tidak akan marah dan menghindarinya seperti sekarang.
Kalau boleh jujur, sebenarnya Jeffrey lebih menyukai Joanna daripada Rosa. Itu sebabnya dia lebih memilih mencari Joanna dan melewatkan acara ulang tahun yang telah disiapkan Rosa dan teman-temannya di apartemen miliknya.
Bahkan, dia sering membayangkan jika Joanna menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya. Sangat sederhana, kan? Sebenarnya hanya itu daftar keinginannya di masa depan.
Namun sayang, sepertinya daftar keinginan sederhana itu tidak akan pernah terealisasikan sekarang.
Joanna itu polos, namun cukup pintar. Sehingga dia tidak akan mudah terperdaya. Seperti ketika mereka berkencan.
Di Solo, Jeffrey selalu membawa Joanna untuk memutari Surakarta hingga tengah malam. Agar apa? Tentu saja supaya bisa bersenang-senang di tempat gelap.
Namun sayang, Joanna menolak disentuh lebih olehnya. Jangankan tahu ukuran branya, melumat bibirnya saja tidak pernah. Ah, pernah. Hanya sekali, di pertemuan terkahir sebelum liburan semester kemarin.
Iya, hanya sekali. Selebihnya, mereka hanya pelukan dan cium pipi. Karena Joanna selalu diwanti-wanti untuk menjaga keperawanan hingga menikah nanti.
Sebenarnya, pikiran Joanna mulai agak liberalis. Mengingat teman-teman dekatnya adalah feminis dan banyak mengajarinya tentang hal-hal baru lagi.
Termasuk tentang selaput darah yang tidak bisa menjadi tolak ukur untuk menjadikan perempuan terhormat di mata laki-laki. Karena kehormatan perempuan seharusnya berada di kepala alias puncak tertinggi anatomi, bukan di bawah pusar lebih sedikit.
Joanna setuju itu, namun dia belum berani melakukan itu karena saat ini masih balum bekerja dan masih meminta uang orang tua.
Bukannya mau berharap buruk, Joanna hanya takut kebobolan dan terkena PMS alias Penyakit Menular Seksual yang pasti akan membutuhkan banyak biaya untuk menyembuhkan. Joanna tentu saja tidak mau mengambil resiko itu. Kecuali kalau dia sudah bekerja, mungkin seks sebelum menikah akan dipertimbangkan. Karena tidak perlu merepotkan orang lain untuk kesenangannya.
Selesai.
Mau lanjut lagi? Kasih 50 komentar in every chapter dulu dong :)
Don't spam, ya? Usahakan kasih komentar di setiap line paragraf. Itu sih kalo masih mau lanjut. Kalo enggak, it's okay. Let's move on in another story. See you ~