بسم الله الر حمن الر حيم"Mahar?!" Tanya gadis itu dengan nada terkejut. Namun, beberapa detik kemudian ia tersenyum, seolah-olah mengejek lawan bicaranya.
"Iya, Saya tanya, mau mahar apa? Memangnya salah?" Lawan bicaranya kembali menyautinya dengan pertanyaan.
Ia kembali menetralisir degub jantungnya yang sempat melompat-lompat. Wajar bukan? Adakah seorang perempuan di sini yang tidak merasakan efek apapun ketika ditanya tentang mahar?
Gadis itu merubah posisi duduknya menjadi bersila sembari membenarkan khimarnya.
Ia masih belum menjawab, pikirannya sibuk berkelana mencari jawaban supaya tidak menyakiti perasaan orang yang baru saja ia kenal sejak beberapa bulan lalu. Dan, percayalah. Mereka belum pernah bertemu.
Seharusnya, tidak ada alasan bagi Ayasha untuk menolak lelaki ini, kenapa? Karena alasan yang pertama, untuk masalah restu, Ibu sudah memberi izin. Untuk alasan kedua, apalagi jika selain dirinya yang sudah jatuh hati pada lelaki ini.
Tapi, tunggu!
Ayasha memejamkan matanya ketika dadanya mulai terasa pengap.
Ada alasan lain kenapa aku masih belum bisa menerima itu semua.
"Bukannya Akak ingin menikah?"
Pertanyaan itu membuat Ayasha tersadar, semenjak lawan bicaranya itu mengobrol dengan Ibu lewat telepon, nama panggilan yang asalnya 'Dek', kini berubah menjadi 'Akak', yang artinya Kakak, seperti panggilan Ibu padanya. Padahal, jika dilihat dari tahun kelahiran, Ayasha lebih muda satu tahun dibanding dirinya.
"Iya, sih." Jawaban Ayasha terdengar menggantung.
"Kenapa?" Tanyanya yang bingung dengan jawaban Ayasha.
"Kakak kenapa mau menikah sama aku?" Ayasha kembali bertanya, namun lagi-lagi pertanyaan itu langsung dibalas dengan pertanyaan kembali.
"Harus ada alasan kah untuk menikah dengan Akak?"
"Jelas, itu harus," jawab Ayasha dengan tegas.
"Kita belum mengenal satu sama lain." Tambah Ayasha yang membuat Abizar tertawa namun ditahan.
"Kenapa?"
"Maaf ya, saya sudah tahu tentang Akak dari Ibu, makanya saya semakin yakin membahas tentang ini." Jawaban telak yang membuat Ayasha bungkam.
"Hmm, gini ya Kak-"
"Lagian, kita sudah pernah tukar biodata kan?"
Ah, biodata. Ayasha menepuk jidatnya, memberikan hukuman kepada isi kepalanya yang selalu ceroboh. Ia mengaku, ia pernah mengirim biodata sekaligus visi dan misi pernikahan pada orang itu.
Pada awalnya, itu hanya sebuah candaan, karena ia kesal dengan Abizar yang tiap kali membahas nikah dengannya, hingga akhirnya terjadi tukar menukar biodata. Dan sekarang, ia baru menyadari kalau itu sebuah kesalahan. Kesalahan terbesarnya.
Dasar bodoh. Rutuknya pada diri sendiri.
Ayasha mengembuskan napasnya dengan kasar dan Abizar masih setia menunggu jawaban Ayasha yang sedari tadi bungkam karena mencari jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast
SpiritualPerempuan ini hidup dengan penuh luka dibatinnya, hatinya sudah seperti remasan kertas yang sangat sulit untuk kembali rapi. Ia sudah berupaya untuk menyembuhkan lukanya. Tapi tetap saja, bekasnya masih terlihat dengan jelas. Di usianya yang hampir...