بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Ia melangkahkan kaki, menaiki tangga satu persatu menuju rooftop sembari membawa sebuah mug berisi kopi instan. Ia membuka pintu dan mendapati seorang lelaki sedang duduk di kursi panjang yang memang sengaja diletakkan di sana."Sedang apa, A?" Tanya Ayasha sembari berjalan mendekat pada seorang lelaki yang kini sedang menatap ke arahnya.
Lelaki itu hanya mengangkat gelasnya lalu tersenyum, mengisyaratkan kalau Ia sedang menikmati minuman hangat yang ditemani oleh mendungnya awan yang siap menuangkan air hujan.
"Kenapa ke sini? Sebentar lagi hujan." Jawabannya seperti tanda kalau lelaki itu hanya ingin duduk sendiri tanpa ada yang menemani.
Namun, Perempuan itu tidak mengindahkan pertanyaan dari Kakaknya, a Bani--Haafidz Rabbani.
Gadis itu malah mendekatinya dan segera duduk tepat di sampingnya. Sesekali, khimarnya bergerak-gerak mengombak tertiup angin.
Bani memperhatikan adiknya yang sedang sibuk menikmati minumannya. Ia kembali mengalihkan pandangannya pada jalan layang yang tepat berada di hadapannya, jalan layang itu terasa kecil jika dilihat dari tempat duduknya.
"Dia, apa kabar?" Tanya Bani tanpa menoleh sedikit pun. Pandangannya masih terfokus pada kendaraan beroda empat yang sedang merayap.
"Siapa?" Tanya Ayasha bingung. Ia tidak tahu, Dia siapa yang Aa nya maksud.
"Abizar." Bani kembali mengubah posisi duduknya.
Ayasha bungkam beberapa saat.
"Baik, mungkin?" Ayasha memang tidak tahu kabarnya seperti apa, karena sudah hampir satu pekan Ia tidak menerima pesan dari Abizar.
Bani hanya menganggukan kepala beberapa kali setelah mendengar perkataan Ayasha.
"Kamu sudah mengatakan pada Abizar, apa yang Aa inginkan?"
Ayasha terdiam.
"Bukan kah dari dulu Aa sudah bilang, lepaskan dia. Kalau kamu memang tidak ingin menikah dengan dia, kenapa masih berhubungan?"
Sekilas, Bani mengalihkan perhatiannya pada Ayasha yang kini sedang tertunduk.
Sepertinya, kopi itu sudah dingin, karena sedari tadi Ayasha menggenggam mug itu dengan kedua tangannya.
"Aa jahat ya, sama kamu?" Tanya Bani yang kini benar-benar menghadapkan tubuhnya pada Ayasha.
"Aa hanya tidak ingin kamu jatuh ke dalam sebuah lingkar kesesatan." Bani menyeruput teh nya yang mulai mendingin, seperti dinginnya udara kali ini.
"Jika semakin jauh, Aa takut kamu malah semakin jatuh." Kini pandangannya kembali tertuju pada Ayasha yang masih saja menunduk.
Bani mengelus kepala Ayasha dengan lembut.
"Kamu tahu kan, kalau Aa sayang sama kamu?" Tanya Bani yang belum melepaskan tangannya dari kepala Ayasha.
Lagi-lagi Ayasha hanya menganggukan kepalanya.
"Dari awal, langkah kalian sudah salah. Jika memang ingin bertanya, bukan kah, masih banyak Ustadz atau Guru yang bisa ditanyai? Kenapa harus kamu? Harusnya kamu tahu, yang kamu lakukan itu salah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast
SpiritualPerempuan ini hidup dengan penuh luka dibatinnya, hatinya sudah seperti remasan kertas yang sangat sulit untuk kembali rapi. Ia sudah berupaya untuk menyembuhkan lukanya. Tapi tetap saja, bekasnya masih terlihat dengan jelas. Di usianya yang hampir...