"YANG Mulia, sebaiknya Anda mengganti pakaian terlebih dulu."
"Tidak usah."
Setelah pembantaian pasien kritis Petunia, kami tiba di istana tepat tengah malam. Tidak ada waktu untuk berganti baju, aku segera menemui anak itu. Ini semua untuk meminimalisir sakit kepala yang sewaktu-waktu akan datang setelah efek dari darah tersebut habis. Masih memakai baju yang penuh dengan darah, aku mendorong daun pintu lantas melangkah masuk diikuti Hamon. Di sana, Duke Astello duduk menemaninya.
Dia tidak gentar ketika melihatku muncul dengan penampilan seperti ini. Sebaliknya, raut wajah anak mungil itu justru terlihat senang.
"Semuanya keluar."
Duke Astello meliriknya sekilas sebelum menunduk hormat dengan ragu. Hamon pun demikian. Barulah setelah mendengar pintu ditutup rapat, aku mendekat dan duduk di sofa yang berada tepat di hadapannya. Sementara itu, aneka kudapan ringan yang terdiri dari berbagai dessert manis tersedia di meja meskipun ini sudah larut malam.
Menaikkan kaki kanan di atas kaki kiri dan menatapnya tajam, bertanya, "Kau memanggilku apa tadi?"
"Papa."
"Aku bukan Ayahmu."
Dia menatap lama sebelum mengangguk pelan.
Sedangkan aku menutup mata sembari mengepalkan kedua tangan kuat-kuat. Menghela napas dalam, melanjutkan, "Jadi, kau sekarang sedang bermain-main denganku, 'kan?"
"Tetapi, kamu memang bukan Ayahku. Kamu adalah Papaku."
"Hentikan omong kosong ini."
Lantas mengarahkan tangan kanan ke arahnya dan di detik selanjutnya dia telah melayang di udara. Aura biru pekat yang mengelilinginya membuat dia sulit bernapas; seakan oksigen di sekitar menghilang. Refleks kedua tangannya menempel di leher. Dia menutup mata menahan sesak. Di tengah usahanya yang sia-sia, dia masih sempat menatapku dalam dan teduh dengan netra hijau yang persis sama seperti waktu pertama kali kami bertemu.
Menyebalkan ketika dia melihatku dengan pandangan yang seperti itu; seakan menatapku iba namun di sisi lain menampilkan kasih sayang yang memuakkan. Pertemuan pertama kami bukan sesuatu yang pantas untuk diingat. Demikian juga dengan saat ini.
Dia harusnya takut dan memohon untuk mati.
Harusnya seperti itu.
Bruk!
Tubuh mungilnya terjatuh di sofa begitu aura biru pekat tersebut hilang. Masih menghirup oksigen sebanyak-banyaknya untuk mengisi ruang paru-paru kecil itu; aku tidak melepas tatapan darinya. Dress putih tipis yang lusuh; luka gores di wajah, tangan, serta kaki; tubuh yang kurus dan kecil; rambut kuning yang tetap bersinar meski kotor dan kusut; serta kedua kaki tanpa alas; semuanya tidak jauh berbeda dari pertemuan awal kami, kecuali ukuran tubuhnya yang kian menyusut.
Ketika dia telah duduk kembali setelah napasnya teratur; dia kembali menatapku dengan tatapan yang berani. Mengepal kedua tangan mungil itu di atas paha, menarik napas dalam, dan berkata lantang,
"Kamu adalah Papaku!"
"Aku sama sekali tidak ingat pernah berhubungan badan dengan makhluk yang paling kubenci." Menopang dagu dengan punggung tangan, bertanya, "Apa yang kau inginkan?"
Dia terkejut. Mulutnya yang terbuka sedikit segera dia katup kembali. Di detik berikutnya dia menunduk, mengangkat kepala, sebelum kemudian menunjuk kudapan ringan di atas meja. "Aku ingin makan itu," katanya sembari melirik puding cokelat yang berada di ujung kananku.
Serta-merta mengikuti arah telunjuknya, melirik makanan menjijikkan itu; menghela napas lantas menatapnya kembali. "Maksudmu, makanan lembek yang suka bergoyang-goyang seperti pantat bebek?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Elora: My Little Princess
FantasyThe Best Gift From Me to You: Book #1 Kaisar yang baru saja pulang dari medan perang membawa kemenangan bagi negerinya, Adenium, tiba-tiba saja dikejutkan oleh kemunculan seorang anak perempuan kecil berumur 5 tahun dari dalam karung goni milik sala...