SETELAH mendengar penuturan Leocadio, aku merasa bahwa teka-teki ini sedikit demi sedikit mulai terjawab. Alasan mengapa sakit kepala yang tak pernah ada sebelumnya muncul; alasan mengapa kegelapan semakin haus dan mulai tak terkontrol; alasan mengapa saripati darah kehilangan keefektifannya meski aku telah banyak membunuh; semua perubahan tersebut adalah akibat dari ketidakstabilan kekuatan kegelapan.
Kemungkinan Elora memiliki kekuatan suci membuka satu dugaan bahwa dia memiliki hubungan dengan Dewa. Entah itu sebagai utusan atau hanya seseorang yang menerima wahyu; yang jelas bahwa ada benang merah antara keduanya. Jika dihubungkan dengan semua kejadian dari awal sampai akhir yang sebelumnya kusimpulkan, maka ujung tali ini mengacu pada hubungan antara Elora dengan peristiwa di masa lalu.
Itu adalah pertanyaan yang belum terjawab. Mengetuk-ngetuk jari tangan kanan di meja; aku merasa yakin sedikit lagi akan menemukan jawaban. Tetapi, ada sesuatu yang terlewat. Kemudian, ketika larut dalam pikiran, perkataan Kakek Utusan Dewa di tahun XXXCIII kalender kekaisaran yang waktu itu kupenggal terlintas kembali.
"Kaisar Altair de Adenium, segala kejahatan Anda akan mendapat balasan yang membuat Anda menyesal seumur hidup. Anda masih akan terus hidup sampai saat itu tiba. Saya berharap Anda menyukainya."
Jika kedua kesimpulan dikaitkan, maka—
Mungkinkah yang dimaksud adalah Elora?
Bersamaan dengan kata terakhir yang diucapkan di dalam hati, gerakanku mengetuk meja terhenti. Jika memang benar demikian, maka kehidupan abadi yang kumiliki saat ini bergantung kepadanya. Keabadian yang kupikir akan selamanya kujalani akan menemui akhir. Tetapi, jika Elora dilenyapkan lebih dulu sebelum saat yang dimaksud tiba, aku masih memiliki kesempatan untuk membuat perkataan kakek itu tidak terjadi.
Aku menarik napas dalam.
Yang terpenting adalah kepastian bahwa benar Elora memiliki kekuatan suci. Maka dari itu, aku harus mengetesnya. Namun, kekuatan suci hanya bisa dirasakan oleh Utusan Dewa atau seseorang yang dapat berhubungan dengan Dewa secara langsung.
Hanya ada satu cara yang saat ini terpikirkan olehku.
***
Memasuki pertengahan musim gugur, penghangat ruangan sepertinya ditambah di beberapa bagian istana sehingga udara malam ini terasa tidak terlalu dingin dibanding malam-malam sebelumnya. Boleh jadi karena alasan itu pula, Elora seharian ini menjadi lebih tenang dan tidak berisik. Padahal, biasanya dia akan mondar-mandir keluar-masuk ke dalam ruanganku atau sengaja berlarian di sepanjang koridor menuju ruang kerja.
Setelah berpikir dan menyelesaikan beberapa pekerjaan sampai bulan menyapa kembali, langkah kakiku kemudian mengarah menuju Paviliun Plumeria. Berhenti di koridor ketika bertemu dengan salah satu pelayan; memerintahkan sesuatu kepadanya sebelum melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Mungkin karena tidak seluas istana utama, tidak terasa aku telah sampai di depan pintu kamarnya. Menghela napas sebelum menarik kenop ke bawah, suara Elora sertamerta menyambut begitu aku muncul dari celah pintu.
"Papa!"
Perhatianku langsung tertuju pada tubuhnya yang tidak memakai sehelai benang pun. Berjalan cepat ke arahnya, melipat kedua tangan di depan dada, bertanya,
"Kenapa tidak pakai baju?"
"Panas."
"Jadi, kau tidak mau pakai baju karena panas?" Dia mengangguk sedangkan aku menarik napas dalam-dalam melihat tingkahnya. "Pakai baju sekarang."
Dia malah menatapku dengan netra hijau yang membulat, memiringkan kepala sembari meletakkan jari telunjuk di dagu, kemudian berkata,
"Tetapi, Papa kan juga biasanya tidak pakai baju?"
Dang!
Aku kehabisan kata-kata mendengar serangan darinya. Menurunkan tangan sembari membuang wajah, mengepal erat kedua tangan, aku menarik dan membuang napas dengan susah payah. Kemudian, setelah merasa siap aku kembali menoleh dan berkata,
"Itu karena tubuhku masih basah. Tetapi, kau kan sudah selesai mandi?"
Aku menyeringai ketika melihat mulutnya terbuka kemudian terkatup. Bersama dengan kedua pundak yang turun secara serempak, Elora melangkah pelan menuju tempat tidur yang di atasnya tergeletak celana pendek dan gaun tidur. Dia memakai celana dengan gerakan terpaksa dan aku mulai bisa bernapas kembali ketika melihat dia telah selesai menutup bagian bawah tubuhnya.
Tetapi, tiba-tiba gerakannya terhenti.
"Kenapa kau hanya memakai celana?"
"Tetapi, Papa kan juga biasanya cuma pakai celana?"
Sekarang, aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Merasa lelah untuk membuka mulut, aku mendekat. Mengambil gaun tidur yang tergeletak di atas tempat tidur, berdiri dengan bertumpu pada kedua lutut; mensejajarkan tinggi tubuhku dengan Elora, kemudian memakaikan gaun tersebut dengan hati-hati.
"Karena kau perempuan, jadi tidak boleh memperlihatkan tubuh tanpa memakai baju. Apalagi bagian bawah dan bagian atas." Aku mengomel sembari memasukkan satu per satu tangannya ke dalam lengan baju. "Mengerti?"
"Tetapi, El mau sepelti Papa," katanya setelah aku selesai memakaikan baju.
"Tidak boleh."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak sama denganmu."
Dia terdiam selama beberapa detik sembari menatapku. Memiringkan kepala kemudian mengarahkan pandangan ke bagian atas dan bagian bawah tubuhku, berkata,
"Tetapi, El dan Papa sama!"
Aku mengembuskan napas panjang dan menegakkan tubuh. Meletakkan kedua tangan di pinggang, bertanya, "Apanya yang sama?"
"Itu!" katanya sembari menunjuk dadaku. "Itu!" lalu berlanjut menunjuk bagian bawah tubuhku. "Semuanya sama dengan punya El." Dia kemudian menatapku dengan raut wajah serius. "El sama sepelti Papa."
Ketukan pintu kemudian menyelamatkanku dari perkataan mematikan Elora. Pelayan masuk sembari membawa segelas susu hangat. Setelah dia meletakkan susu tersebut di meja kecil, dia keluar setelah memberi salam. Sedangkan Elora sertamerta berlari menaiki tempat tidur dengan susah payah. Tangannya kemudian terangkat menunjuk susu setelah menyelimuti tubuhnya dengan selimut.
Aku mengembuskan napas dan mengalah. Berjalan ke arah meja kecil yang terletak di samping tempat tidur; membawakan dia susu; kemudian duduk di pinggir tempat tidurnya.
"Hati-hati."
Elora menerima dan memegang gelas tersebut dengan kedua tangan. Secara perlahan menyeruput susu yang masih hangat. Lalu, ketika dia meneguk susunya sampai habis, aku mengambil gelas susu dan meletakkannya kembali ke tempat semula. Sementara itu, Elora mulai berbaring dan menarik selimut sampai menutupi dada.
"Tidurlah."
Ujung lengan bajuku ditarik tepat sebelum berdiri. Menoleh dan akhirnya memilih duduk kembali di tempat tidur, aku mengalah dan menuruti keinginannya. Dia menatapku lama tanpa mengatakan apapun. Selama beberapa detik kami saling bertatapan dengan pikiran masing-masing. Kemudian, dengan suara pelan dia berkata,
"Papa boleh pelgi saat El sudah masuk ke dunia mimpi."
"Baiklah."
Dia tertawa kecil, membuat matanya sedikit menyipit dan memperlihatkan lesung pipit yang tidak terlalu kentara di pipi sebelah kiri. Aku baru menyadarinya setelah jarak kami sedekat ini.
"El sayang Papa! Sangat sayang!"
Lalu, di detik berikutnya dia menggenggam jari telunjukku erat sebelum akhirnya melemah secara perlahan bersama dengan matanya yang mulai terpejam.
Ibu jariku kemudian membelai punggung tangan mungil itu dengan lembut. Perlahan, aku menarik telunjuk yang dia genggam. Tanpa sadar tanganku bergerak membelai kepalanya. Rambut kuning Elora kemudian bersinar ketika aku mematikan salah satu penghangat ruangan dengan sihir karena dia tadi mengatakan kalau ruangan ini terlalu panas.
Dia terlihat sangat nyenyak dalam tidur. Selama beberapa saat, aku memandangnya; memperhatikan bagaimana dia tidur dan mendengar deru napas yang teratur. Melihat dia tidur seperti ini, aku kemudian bangun dan beranjak keluar kamar.
Sekarang, racun yang ada di dalam susu pasti sudah bekerja, 'kan?[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Elora: My Little Princess
FantasyThe Best Gift From Me to You: Book #1 Kaisar yang baru saja pulang dari medan perang membawa kemenangan bagi negerinya, Adenium, tiba-tiba saja dikejutkan oleh kemunculan seorang anak perempuan kecil berumur 5 tahun dari dalam karung goni milik sala...