PELAYAN mulai menata menu makan siang di meja. Menu utama adalah daging rusa yang dipanggang dengan bumbu tertentu. Lalu ada sup berbahan utama jagung manis dengan kacang-kacangan, kentang, dan potongan daging sebagai pelengkap isian sup yang dimakan dengan roti. Tak lupa makanan khas Petunia: sup ikan air tawar. Meski namanya sup ikan, makanan ini sama sekali tidak berair karena dicampur dengan kentang yang sudah dihaluskan dan bahan-bahan lain sehingga bertekstur lembut.
Meski menggunakan bahan-bahan sederhana, tampilan makanan yang tersaji di meja tetap terlihat mewah. Kemampuan memasak kesatria keluarga Astello memang menakjubkan seperti yang dirumorkan. Walau demikian, masakan sederhana pun tidak masalah bagiku karena sudah terbiasa di medan perang. Lagipula, Elora pun juga tidak akan mempermasalahkan menu masakan meski itu hanya ikan yang dibakar tanpa bumbu.
Tetapi, ketika pelayan telah beranjak dan menyisakan kami berdua; anak itu belum juga menyentuh makanannya. Sejak masuk ke dalam tenda dan mendapati dia telah duduk di depan meja makan; aku mengira bahwa dia telah menyelesaikan makan siang. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Maka, meletakkan sendok garpu dan pisau makan di piring; menopang dagu, lalu menatapnya, bertanya, "Kenapa tidak makan? Biasanya makanmu banyak seperti Babi."
Dia tersentak. Sedetik kemudian, mengangkat kepala dan tersenyum memandangku. "El akan makan, hehe."
"Tetapi, daging di piringmu tidak tersentuh sejak tadi." Aku memicing, curiga. "Katanya kau suka daging."
"El memang cuka daging."
"Lalu, kenapa tidak dimakan?"
"Em,... El akan makan."
Dia bersusah payah menusuk daging yang telah dipotong oleh pelayan menjadi bagian kecil; mengarahkannya ke dalam mulut dengan gerakan terpaksa. Maka, aku menggerakkan ujung telunjuk ke arahnya dan seketika piring makan Elora melayang di udara; lalu perlahan mendarat di bagian sisi lain meja yang kosong.
"Papa?"
"Kalau tidak suka, tidak usah dipaksa."
"El cuka!"
Dia melotot; setengah kaget dan tidak nyaman. Menumpu kedua tangan di meja dengan tubuh yang sedikit maju. Aku mengembuskan napas lalu kembali fokus pada makananku. Ketika suapan pertama masuk; dia menggumam tidak jelas. Entah apa yang dia ingin katakan namun aku tidak menaruh atensi lagi.
"Cebenalnya, El dalitadi lapal." Aku melirik, dia melanjutkan dengan pandangan yang menunduk. "Tapi, El mau makan sama Papa makanya El tunggu."
Setelah beberapa saat terdiam, aku merespon. "Apa perutmu sakit?" Melihat dia berubah kikuk, dengan cepat aku memotong, "Makan sup dulu." Lalu mengarahkan sup jagung dan sup ikan tawar ke hadapannya menggunakan sihir. "Jangan makan daging, makan sayuran saja."
Dia mengangguk setelah cukup lama menatapku.
"Di dalam sup jagung ada potongan daging, jangan dimakan." Melihat dia menyendok kuah lalu pelan-pelan mengarahkannya ke dalam mulut; aku malah mengembuskan napas, lelah. "Kalau lapar, makan saja. Tidak usah menungguku. Kalau kau sakit di sini, itu akan sangat merepotkan."
"El minta maaf."
Dia menunduk setelah suapan tadi. Salah satu tangannya yang berada di bawah membuatku berpikir bahwa dia sedang memegangi perut; entah sakitnya sudah berkurang atau tidak. Dia tak mengatakan apapun dan aku juga tidak ingin bertanya. Lebih tepatnya tidak ingin ikut campur terlalu jauh. Perhatian yang kuberikan tadi rasanya sudah lebih dari cukup. Yang terpenting adalah dia aman dan bernyawa sebab kehadirannya masih menjadi misteri yang harus kupecahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elora: My Little Princess
ФэнтезиThe Best Gift From Me to You: Book #1 Kaisar yang baru saja pulang dari medan perang membawa kemenangan bagi negerinya, Adenium, tiba-tiba saja dikejutkan oleh kemunculan seorang anak perempuan kecil berumur 5 tahun dari dalam karung goni milik sala...