"Tidak... aku berharap dia mati."
Sunyi menyelimuti.
Kemudian Jaehyun memberhentikan mobil di sebelah sungai. Dia mengulurkan tangan ke kursi Taeyong dan membuka pintu dari dalam sambil melepaskan sabuk pengamannya sendiri.
"Keluar," Dia berkata dengan tenang. Taeyong tidak beranjak dari tempat duduknya. "Maksudku, kau harus menenangkan diri." Dia mencoba lagi.
"Aku baik-baik saja."
"Um-hm, tidak, ayo keluar."
"Terserah." Ujar Taeyong. Dia mengambil langkah menuju pagar tepi sungai, tangan mencengkeram logamnya, tidak bergeming walaupun logamnya sedingin es di tangannya. Dia tidak perlu menoleh ke belakang untuk mengetahui bahwa Jaehyun sedang mengamatinya dari kejauhan. Jarak yang hati-hati. "Dia seharusnya sudah mati. Kenapa dia tidak mati?" Dia bertanya dengan suara keras, lebih untuk dirinya daripada Jaehyun.
"Kau marah."
"Sangat." Taeyong mendecakkan lidahnya.
"Dan bukan karena aku."
"Ini tidak lucu, Jae." Taeyong berkata, berbalik menghadapnya.
Jaehyun agak terkejut tapi dia menyembunyikannya dengan baik. Kekasihnya tidak pernah semarah ini, tidak pernah sampai ke titik ini.
"Aku tahu. Jadi sebaiknya kau berhenti merengut seperti Edward Cullen dan ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi." Taeyong tidak menjawab. "Katakan padaku, Taeyong. Aku juga di sini. Aku berjanji akan berada di sini untukmu, ingat?"
"Aku berharap dia sudah mati." Taeyong berbisik.
"Tidak, kau tidak." Jaehyun balas berbisik sambil menggenggam tangannya yang gemetar. Taeyong sangat menggigil karena kesedihan, matanya berkaca-kaca karena calon air mata.
"Aku pikir itu akan lebih mudah. Jadi kenapa aku yang merasa sakit? Kenapa dia tidak bisa mati?"
"Kehidupan ... tidak bekerja seperti itu." Jaehyun berkata dengan lembut. Taeyong menariknya ke dalam pelukan, membenamkan wajahnya ke leher Jaehyun, menyembunyikan air matanya. Saat itulah Taeyong tercabik-cabik.
"Aku selama ini berharap dia sudah mati. Tapi itu hanya harapan kekanak-kanakan. Tapi tidak, dia ada di sana, mengenakan perhiasan dan pakaian desainer dan dia adalah istri seorang CEO sekarang. Aku ingin tahu rumah tangga siapa yang dia hancurkan karena itu. Akan lebih baik jika dia mati."
"Tidak, kau tidak berharap begitu. Aku melihatnya di matamu. Kau membencinya. Kau membenci keduanya. Tapi tidak mati. Tidak sampai sejauh itu." Jaehyun membelai rambutnya.
"Aku benci mereka. Aku berharap mereka mati. Tapi mereka masih hidup. Keduanya. Mereka berdua masih menghantuiku." Taeyong terisak, berusaha mengendalikan luapan emosinya.
"Sssh... tidak apa-apa. Aku disini. Aku disini." Jaehyun ingin menghilangkan rasa sakit itu tapi tentu tidak semudah itu.
"Itu lebih menyakitkan dari yang aku kira. Aku pikir akan mudah untuk melemparkan kata-kata yang buruk kepada seseorang yang kau benci. Rasanya puas selama satu menit dan kemudian membuatku merasa seperti sampah karena pada akhirnya, kata-kataku tidak penting. Dia pergi. Itu terjadi. Kata-kataku tidak akan mengubah apa pun." Jaehyun menarik diri untuk menangkup wajahnya dan menatapnya.
"Kata-kata jarang dapat mengubah sesuatu." Jaehyun mengusap bekas air mata Taeyong dengan ibu jarinya. "Karena kita harus menindaklanjuti dengan tindakan kita agar kata-kata kita memiliki makna. Jadi, hari lain ketika aku berkata aku mencintaimu. Itu berarti bangun bersamamu setiap pagi. Itu berarti mencium ujung hidungmu ketika kita sedang minum kopi. Dan menjalinkan jemari kita saat menonton film. Dan membiarkanmu menaruh nanas di atas pizza meskipun menurutku itu menjijikkan. Dan pulang untuk makan malam bersamamu. Jadi tidak apa-apa jika itu menyakitkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring (jaeyong) [12/13]
FanfictionJaehyun, seorang dokter biasa di salah satu rumah sakit Seoul bertemu dengan Taeyong, si 'college bad boy'. cover pic by: peach boy