chapter 2

592 74 9
                                    

Tidak setiap hari seorang Jung Jaehyun akan mengajak seseorang yang tidak begitu dikenalnya untuk minum kopi bersama. Tapi ada sesuatu yang sangat menyedihkan tentang Lee Taeyong yang menendang naluri protektifnya. Mungkin karena fakta bahwa dia baru saja kehilangan ayahnya, atau mungkin karena wajahnya yang sangat tampan. Tapi sekarang mereka duduk berseberangan di kafe, menghadap ke jalan yang ramai.

Taeyong menggambar pola di buih kopinya dengan pengaduk plastik, menunggu latte-nya dingin. Jaehyun telah memesan kopi hitamnya dan memasukkan setengah bungkus gula. Keduanya diam namun tidak ada yang keberatan. Keheningan diantara mereka terasa nyaman.

"Aku tadi... mengunjungi seorang teman." Jaehyun memulai percakapan, ingin menjelaskan tetapi tidak tahu bagaimana caranya.

"Kau tidak perlu mengatakan apapun jika kau tidak ingin," mata Taeyong mengedip dengan ekspresi penuh pengertian.

"Tidak.. lebih mudah rasanya jika aku membicarakannya. Aku tidak tahu kenapa aku memberi tahumu tentang ini tapi aku merasa ini adalah hal yang seharusnya kulakukan." Jaehyun mengakui, lalu mendesah sebelum melanjutkan, "Teman yang kusebut adalah orang yang aku kenal sejak SMA. Namanya adalah Hansol dan dia seorang dokter, sama sepertiku. Kita masuk ke sekolah medis yang sama tapi setelah setahun, dia tiba-tiba stress dan mengalami depresi. Dia overdosis karena terlalu banyak mengonsumsi obat penghilang rasa sakit.. dan meninggalkanku." Jaehyun terdengar sangat pahit, dan ini merupakan pertama kali Taeyong melihat seorang dokter sangat emosional.

"Aku turut berduka."

"Tidak.. orang datang dan pergi, bagaimanapun juga. Kita bisa menghalangi mereka datang, tapi tidak bisa menghentikannya."

"Apa kau merindukannya?" Taeyong bertanya dengan suara kecil.

"Sangat, rasanya seperti orang gila." Jaehyun menyisir rambutnya penuh rasa frustasi. 

"Pasti sulit ketika sesuatu yang sangat kau cintai justru membunuhmu."

"Lebih baik terbunuh dengan sesuatu yang kau cintai daripada mati karena hal yang kau benci."

"Ayahku meninggal dengan bahagia, kalau begitu," Taeyong berbisik. Ayahnya meninggal dengan sebuah botol bir di sebelahnya.

"Apa maksudmu?"

"Tidak apa-apa." Taeyong dengan segera menjawab, mengutuk diri sendiri karena membiarkan perkataan seperti itu lolos dari mulutnya. Jaehyun tidak mendorongnya untuk menjelaskan.

Mereka kembali ke suasana hening yang nyaman sembari menyesap kopi masing-masing, melihat orang-orang berjalan kesana kemari; yang bergegas pulang ke rumah setelah seharian bekerja. Mereka tampak lesu dan ingin segera bersembunyi di rumah mereka yang terisolasi, dalam gelembung kenyamanan yang akrab dan hangat. Taeyong takut hanya dengan membayangkan pulang ke rumah sekarang. Pasti rasanya sangat dingin, bagaimanapun juga. Ia berencana melihat rasi bintang malam itu, mungkin dari taman di kompleksnya atau di atap bangunan yang terbengkalai.

Mungkin ia akan hilang diembus angin musim dingin.

Atau terlahir kembali menjadi sebuah bintang, walaupun dia ragu hal tersebut bisa terjadi.

Dia mendongak tersadar dari lamunannya dan menemukan bahwa Jaehyun sedang menatapnya. Pandangannya membuat jantungnya berdetak kencang tiba-tiba.

"Apa ada sesuatu?" Taeyong bertanya, memegang wajahnya.

"Kau tampan." Jaehyun menjawab dengan terus terang dan menurut Taeyong itu adalah satu hal yang ia temukan mengagumkan tentang dokter yang satu ini.

"Kau juga menatapku di hari kita pertama bertemu." Taeyong berkata lagi, walau ia tak yakin Jaehyun ingat.

Jaehyun terkekeh, "Kalau kau harus tau, kau juga tampan saat itu. Bahkan dengan rambut putih. Tapi serius, orang waras macam apa yang mewarnai rambutnya dengan warna seperti itu?"

Spring (jaeyong) [12/13]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang