chapter 3

418 64 14
                                    

Jaehyun tidak menelepon.

Dua minggu terakhirnya amat menyiksa. Nomor Taeyong sudah ia simpan di kontak ponselnya dan kertas bertuliskan nomornya terselip di dompet Jaehyun, di antara kartu kredit. Setiap ia merasa ia ingin menelepon, ia menghentikan dirinya sendiri, merasa tidak percaya diri dan ragu tepatnya apa hubungan mereka. Apakah hanya one night stand yang terjadi karena situasi yang buruk? Atau lebih mengarah ke friends with benefit? Apakah Tayong tahu apa yang diinginkannya? Apakah Jaehyun sendiri tahu apa yang sedang terjadi?

Semuanya tidak jelas tetapi Jaehyun tidak benar-benar ingin mencari kejelasannya.

Dia mengunyah wafer di tempat istirahat doktor setelah berkeliling rumah sakit. TV menampilkan beberapa acara buruk yang sebenarnya tidak pernah ditonton siapapun. Beberapa orang sedang beristirahat, tidur sebentar di tempat tidur kaku atau sofa dingin sebelum panggilan malam mulai masuk. Jaehyun memegang selembar kertas di tangan kirinya, menatap barisan angka yang ditulis dengan pensil.

Mungkin sebaiknya aku menelepon, renungnya. Bertanya apakah dia baik-baik saja, toh ayahnya meninggal baru-baru ini.

Dan kau bercinta dengannya tepat setelah pemakaman.

Apa hanya itu? Dua orang yang sedang bersedih dan mereka memutuskan tidak ingin bersedih lagi sehingga mereka bercinta karena itu merupakan distraksi yang bagus.

Ditsraksi yang sangat bagus.

Pikirannya terganggu ketika teleponnya berbunyi dengan pesan dari seorang suster yang mengatakan bahwa ada korban penyerangan yang baru saja masuk. Dia melompat dari sofa, sangat ingin menghindar dari masalah yang dihadapi. Dia memperbaiki lengan baju kemejanya, sebelum mengencangkan dasinya dan mengenakan jas putihnya. Dengan stetoskop di satu tangan dan telepon di tangan lainnya, dia menuju departemen A&E di lantai yang paling rendah.

Sang suster, Irene, menunggunya di pintu masuk. Dia sedang berbicara dengan dokter Taeil tentang sesuatu sebelum melambai pada Jaehyun.

"Dimana pasiennya?" Jaehyun bertanya.

"Baik. Biar ku tunjukkan." Dia mengizinkan diri dari dokter Taeil dengan anggukan tetapi dokter yang lebih tua justru mengikuti mereka. Dia selalu mencari alasan untuk membantu atau memeriksa kemajuan pasien di unit gawat darurat.

Sudah cukup buruk mereka semua berteman sekarang.

Jaehyun selalu menghormati Dr. Moon Taeil bukan hanya karena dia adalah senior yang merawatnya, tapi dia juga ia berbicara dengan lembut dan perhatian.

Namun rasa hormat itu benar-benar hancur (yah tidak seluruhnya) ketika Jaehyun masuk ke apartemennya pada suatu pagi yang cerah untuk menemukan dokter yang telah dia kagumi selama bertahun-tahun bermesraan dengan roommate-nya, Doyoung. Ia bahkan terkejut mengetahui mereka bahkan mengenal satu sama lain. Dari sana, keduanya memulai hubungan kasual di mana tidak ada yang tahu status mereka secara pasti. Jadi sekarang di belakang semua orang, Jaehyun memanggil Taeil dengan nama depannya atau hanya hyung.

Karena hanya Tuhan yang tahu apakah dia bisa menyingkirkan bayangan penuh dosa itu dari kepalanya bahkan jika dia mengeluarkan bola matanya.

"Organ vitalnya terlihat baik-baik saja tapi ia memar dan lebam, anak yang malang. Aku memberi infus karena dia tampak bisa pingsan tiba-tiba." Irene melaporkan, membawanya ke unit bertirai.

"Usianya?" Taeil dan Jaehyun bertanya bersamaan.

"Awal dua puluhan. Pria. Seorang mahasiswa, dilihat dari ID-nya. Beberapa warga yang baik membawanya kesini." Irene membuka tirai dan mata Jaehyun melebar dan ia tanpa sadar tersentak.

Spring (jaeyong) [12/13]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang