13

80 14 4
                                    

Sesuai dengan kesepakatan mereka saat di kantin sekolah, mereka akan ke rumah Ayres lebih dulu.

Mengingat hari ini, tepatnya jam delapan malam nanti adalah puncak pesta kejutan untuk Mamanya Tara, jadilah mereka bersepakat untuk berkumpul dulu di rumah Ayres. Tara pun akan datang ke sana. Katanya, ia ingin melihat kue seperti apa yang akan Ayres buat untuk sang Mama.

Dirga menuruni anak tangga dengan langkah pelan, dan saat itulah, ia berhadapan langsung dengan Ivana.

Mamanya itu nampak dingin saat menatap Dirga. Tak ada sorot kasih sayang dikedua mata tajamnya. Yang ada, serpihan rasa benci itu makin lama makin menyesakkan dada Dirga.

Tak ada kata-kata yang Mamanya ucapkan. Namun Dirga merasa sangat kesakitan akibat diabaikan selama hampir empat tahun ini. Mamanya semakin jauh dari jangkauannya.

Tak lama, Ivana membuang muka dan berjalan masuk ke arah dapur. Buru-buru Dirga menuruni tangga dan berusaha menyejajarkan langkahnya dengan Ivana. "Ma-ma..."

Tenggorokan Dirga begitu tercekat saat ia kembali memanggil Mama. Lidahnya terasa kelu, bersamaan dengan tangannya yang mengeluarkan keringat dingin. Napasnya memburu menunggu respon dari Ivana.

Tapi sejak semenit berlalu, tak ada tanggapan berarti. Ivana hanya berdiri dan berusaha menghindari tatapan Dirga. "Aku mau izin main ke rumah teman, Ma."

Susah payah Dirga meminta izin pada Ivana, menganggap jika ia baik-baik saja. Sementara ia menahan hati-hati gemuruh di dalam hatinya. Ia hanya ingin Ivana melihatnya, sekali saja.

Tapi pada akhirnya keinginan Dirga hanya sebatas keinginan saja, sebab Ivana tak akan sudi mengabulkan itu. Wanita paruh baya itu berdecih dan melangkah kembali masuk ke dapur. Sebelum masuk ke dapur, ia berhenti lagi. "Kenapa kamu harus minta izin kepada saya? Padahal selama ini kami melakukan apapun yang kamu mau. Apa gunanya izin dari saya? Mau kamu mati dan pergi dari hidup saya, saya juga tidak akan peduli." Tanpa menatap Dirga sama sekali, tanpa menoleh sedikit pada Dirga, Ivana melangkah.

Perbuatannya itu berhasil menorehkan luka di hati Dirga, yang merupakan anak lelakinya sendiri.

***


"Mbak, Mama mana?", tanya Greha setelah berganti seragam sekolah.

Yola menoleh sebentar pada Greha. "Mama ada tugas di luar kota, tiga hari katanya."

Greha mendengus.

Baginya, ketidakhadiran Mama di rumah akan sangat tidak menyenangkan. Greha akui, peraturan Mana sempat membuatnya merasa terkekang dalam segi pergaulan, sebelum ia mendapat perlakuan tak pantas dari Mike. Tapi di atas semua itu, kehadiran Mama di rumah adalah satu bentuk ketenangan dan sinyal jika Greha akan merasa aman.

Satu kebiasaan buruk jika Greha tahu Mama tidak ada di rumah.

Pikiran buruknya melanglang buana, ia takut terjadi sesuatu pada Mama di jalan.

"Udah, nggak usah overthinking. Mama baik-baik aja, kok." Yola berdiri dan mengusap pelan pundak Greha. Ia sudah tahu kebiasaan saudara-saudaranya, termasuk Greha yang acapkali kerap berpikir terlalu jauh tentang kondisi Mama.

Greha mengangguk. Ia tersenyum tipis. "Makasih yah,Mbak."

"Udah. Lo mending makan siang sekarang bareng Abel. Mbak Emira tadi sebelum ke kampus udah masak makan siang." Yola menjelaskan. "Dia sempat kasih tau gue, kalau dia bakalan pulang agak sorean. Makanya dia langsung masakin buat kalian. Takut kalian kelaparan."

"Lo sendiri gimana, Mbak? Kok lo nggak makan aja tadi?", tanya Greha.

"Sebenarnya gue mau pergi dulu ke rumah teman gue. Gue udah minta izin ke Mbak Emira. Gue juga pulang agak telat nanti. Lo sama Abel nggak papa kan kalau di rumah aja?"

Things You Never Say To MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang