Maret, dua tahun lalu.
Tidak ada hal yang lebih indah selain sakura pertama yang mekar pada musim semi. Setiap pasang mata tidak akan ada yang mampu berpaling dari bunga-bunga yang kebanyakan berwarna merah muda itu. Haruki melepas earphone di telinganya dan beralih menatap Mitsuko yang masih belum lepas dari Sakura.
"Kau sangat menyukai sakura, ya?"
Mitsuko menautkan alis sembari menatap Haruki. "Tentu saja. Kenapa kau bertanya? Bukankah setiap mata akan terpesona dengan kecantikan sakura? Aku yang tidak bisa melihat warnanya saja masih tetap jatuh cinta pada sakura."
Haruki tersenyum lembut. Ia menatap lurus ke depan. Sedetik kemudian, Haruki menghela napas.
"Apa kau sedang ada masalah, Haruki-kun?"
Haruki menggeleng. "Bukan, bukan itu." Ada jeda sejenak di antara percakapan mereka. Angin lembut menyapu anak rambut Mitsuko yang tidak terikat sempurna.
"Mitsuko, apa impian terbesarmu?" tanya Haruki sembari menyelipkan anak rambut Mitsuko ke belakang telinganya. Pipi Mitsuko langsung merah padam.
"Aku tidak tahu. Belum terpikirkan." Mitsuko mengalihkan pandangan untuk menutupi rona di pipinya.
"Begitu, ya." Haruki menjawab lirih. Ada sinar kesedihan yang tertangkap dari kedua bola mata cokelat yang begitu Mitsuko kagumi selama ini.
"Kalau Haruki-kun bagaimana? Apa impian terbesarmu?"
"Ah ...," Haruki menunduk, "aku ingin bisa tampil di Tokyo Music Festival. Tidak masalah meski aku tidak bisa menjadi The Best Musician of the Year."
"Benarkah? Aku pasti mendukungmu. Aku pasti akan jadi orang yang bersorak paling meriah setelah penampilanmu nanti. Dan, hei, apa katamu tadi? Aku yakin Haruki-kun bisa menjadi The Best Musician of the Year tahun ini. Kau itu sangat luar biasa," ucap Mitsuko dengan begitu antusias. Gadis itu sampai berdiri saking semangatnya.
Haruki tertawa kecil melihat tingkah Mitsuko. Terkadang, sahabatnya itu bisa sebegitu bersemangatnya sampai rasanya ia tidak ingin kehilangan momen seperti ini. Momen saat ia masih bisa melihat Mitsuko tersenyum, saat Mitsuko menangis dalam pelukannya, atau saat Mitsuko menjahilinya dan tertawa puas karenanya. Haruki pasti akan merindukan semua itu.
"Aku tidak yakin, Mitsuko. Kompetisinya tiga bulan lagi. Aku tidak yakin punya cukup banyak waktu untuk berpartisipasi." Suara Haruki jelas menggambarkan betapa ia bersedih.
"Hei, apa maksudmu, Haruki-kun? Kau adalah pianis terbaik di sekolah dan aku yakin juga di Tokyo. Kau pasti bisa masuk Tokyo Music Festival bahkan tanpa ikut seleksi. Percaya padaku. Aku sahabatmu sejak kita masih di taman kanak-kanak, kan?"
"Arigatou, Mitsuko." Haruki meraih tangan Mitsuko dan langsung mendekap tubuh mungilnya.
"HaーHaruki-kun?" Jantung Mitsuko nyaris meledak karena Haruki tiba-tiba memeluknya. Lelaki itu tidak pernah seperti ini sebelumnya. Biasanya, ia hanya memeluk Mitsuko saat gadis itu bersedih atau menangis.
"Terima kasih karena sudah mau menjadi temanku sejak dulu."
Perasaan Mitsuko menghangat. Ia memberanikan diri menepuk lembut punggung Haruki. "Dalam persahabatan, tidak ada kata maaf dan terima kasih, bukan? Aku akan selalu ada tanpa kau minta dan aku akan selalu memaafkan sebelum kau mengucapkannya. Seperti itulah makna persahabatan kita."
Mereka berdua tersenyum, sama-sama berjuang menahan air mata yang sudah nyaris tumpah. Haruki menarik diri beberapa detik kemudian. Ia mengusap tengkuknya karena suasana yang tiba-tiba menjadi canggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring Time
Teen Fiction"Mou ichido, kimi to sakura o mite hoshii." Sebagai pengidap monokromasi, Mitsuko terbiasa dengan kehidupan yang kelabu, selama Haruki berada di sebelahnya. Haruki adalah alasan di balik semangat dan keinginan Mitsuko untuk menekuni musik, khususnya...