Mitsuko melamun lebih banyak sejak Natsuo mengatakan bahwa ia akan diikutkan sebagai perwakilan sekolah dalam Tokyo Music Festival tahun ini. Ada banyak hal menyakitkan yang pasti akan kembali jika ia benar-benar ikut kompetisi itu. Mitsuko menghela napas. Mengapa situasi pelik ini harus terjadi padanya? Mitsuko melipat kedua tangan di atas meja dan menenggelamkan kepalanya di sana. Kantin sangat ramai hari ini, tetapi masih tidak bisa mengalahkan pikirannya yang berkecamuk.
"Boleh aku duduk di sini?" tanya seorang lelaki yang suaranya terdengar tidak asing di telinga Mitsuko.
"Silakan. Pasti sudah tidak ada meja kosong lagi, kan?" Mitsuko berujar tanpa mengangkat kepalanya.
Lelaki itu mengangguk. Ia meletakkan nampannya di atas meja dan mulai mengambil sumpit.
"Kau tidak makan?"
Mitsuko hanya menggelang. Tak berniat banyak bicara. Lagi-lagi lelaki itu mengangguk melihat respons Mitsuko. Lelaki itu memilih makan dalam keheningan sembari terus memperhatikan Mitsuko yang sesekali rambutnya tertiup angin. Tanpa sadar, sebuah senyum terbit di bibirnya. Hatinya menghangat. Entah mengapa.
"Kau sedang ada masalah? Kau bisa menceritakannya padaku kalau kau mau." Lelaki itu berujar lagi setelah menyelesaikan makannya. Sejak tadi, Mitsuko sudah berulang kali menghela napas.
"Bukankah aku tidak punya alasan untuk bercerita padamu? Kita bahkan tidak saling kenal."
"Kalau begitu, mari berkenalan. Namaku Naoki Hasegawa."
Padahal maksudku bukan mengajak berkenalan, gerutu Mitsuko dalam hati.
"Kau pasti Mitsuko Fujiwara, kan?"
"Ya."
"Hei, kau lupa? Kita ini teman sekelas. Aku baru masuk sekolah hari ini."
"Ya, aku tau. Kalau begitu, aku duluan, ya."
"Tunggu." Naoki menahan tangannya, berharap gadis itu menetap sebentar lagi.
"Ada apa? Maaf, tapi aku harus ke ruang musik sekarang."
"Em, kau benar-benar lupa padaku?"
Mitsuko menautkan alis. Ia menatap lelaki bernama Naoki itu lamat-lamat. Tatapan mereka bertemu di udara dan entah mengapa Mitsuko merasa mengenal tatapan meneduhkan itu. Tiba-tiba saja air matanya mengalir.
"Ah ...." Mitsuko segera menghapus air matanya. Mengapa aku menangis?
Menatap mata Naoki entah mengapa membuat hatinya terasa hangat. Ada kerinduan yang tidak bisa ia jelaskan. Ia ingin berlama-lama tenggelam dalam tatapan itu. Lebih lama, ia ingin menatapnya sedikit lebih lama.
"Kenapa kau menangis, Mitsuko? Apa aku menyinggungmu?"
"Ah, tidak. Aku ... hanya ....." Mitsuko menghapus lagi air mata di pipinya yang masih tidak mau berhenti.
"Hei, jangan menangis. Mari, ikut aku."
Mitsuko membiarkan dirinya ditarik Naoki ke taman belakang sekolah. Mereka duduk di bawah pohon sakura yang tengah bermekaran. Satu-dua kelopaknya berguguran saat tertiup angin.
"Kenapa kau membawaku ke sini, Hasegawa-kun?"
"Pertama, aku lebih suka kau memanggilku Naoki. Kedua, aku tidak tahu alasanmu menangis, tetapi ...," Naoki menjeda kalimatnya. Telapak tangannya ia letakkan di atas kepala Mitsuko, "kau sekarang memilikiku untuk berbagi kesedihan. Bukankah sakura selalu membuat perasaanmu lebih nyaman?"
Sekali lagi, Mitsuko menatap mata Naoki. Ada sesuatu yang menghangatkan hatinya dari tatapam itu. Ia merasa sudah sangat mengenal Naoki, tetapi kapan? Bukankah mereka baru saling bekenalan hari ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring Time
Teen Fiction"Mou ichido, kimi to sakura o mite hoshii." Sebagai pengidap monokromasi, Mitsuko terbiasa dengan kehidupan yang kelabu, selama Haruki berada di sebelahnya. Haruki adalah alasan di balik semangat dan keinginan Mitsuko untuk menekuni musik, khususnya...