Ini sudah menit ketiga puluh, tetapi kertas paranada Mitsuko masih kosong. Tidak biasanya gadis itu kehilangan fokus saat tengah berkutat dengan partitur. Sejak tadi ia hanya menopang dagu, menatap lurus ke depan. Alunan musik "River Flows in You" tampaknya tak berhasil membuatnya mendapat inspirasi untuk segera menyelesaikan partiturnya.
Mitsuko menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Ia menghela napas, meraih ponsel di atas meja lalu mematikan alunan musik yang selama setengah jam terakhir ia gunakan sebagai sumber inspirasi. Percuma saja. Ia hanya membuang waktu jika terus menulis partitur di dalam kamar. Mitsuko butuh udara segar agar pikirannya lebih segar.
Ia memutuskan menyelesaikan partitur di taman. Hari ini kuncup pertama sakura akan mekar di Tokyo. Pasti akan sangat menyenangkan bisa melihat kuncup-kuncup sakura yang bersiap untuk mekar. Tidak hanya sakura, bunga-bunga lain seperti plum dan persik juga akan mekar. Hal yang membuat para turis tak jarang tertukar antara bunga sakura, plum, dan persik.
Angin lembut menyibakkan anak rambut Mitsuko. Ia memilih duduk di bawah pohon. Ditatapnya lembar paranada kosong di pangkuannya. Baiklah, saatnya fokus. Partitur ini harus segera selesai jika ia tidak ingin terkena masalah. Meskipun Natsuo Senpai bukan tipe pemarah, tetapi Mitsuko tak ingin membuat senior sekaligus pelatihnya itu kecewa.
Mitsuko mulai menggambar not balok di atas paranada. Sekali lagi, ia menyalakan alunan musik piano dari pianis favoritnya, Yiruma. Kali ini "The Days That'll Never Come" yang menemaninya.
***
"Apakah bunga sakura akan terlihat lebih indah jika aku mengetahui warnanya, Haruki-kun?"
"Kau tidak harus mengetahui warna setiap hal hanya untuk memastikan bahwa mereka indah, Mitsuko."
"Tapi, bukankah akan sangat menyenangkan jika aku bisa melihat seluruh jalanan berwarna merah muda karena tertutup kelopak sakura?"
"Apa menurutmu sekarang tidak indah?"
Mitsuko menggeleng. Siapa pun tidak perlu mengetahui warna sakura hanya untuk mengatakan sakura itu indah.
"Mitsuko, dunia itu berwarna atau tidak, kitalah yang menentukan. Kau tidak harus mengetahui setiap warnanya untuk bisa bahagia."
Mitsuko tampak tak puas. Apakah salah jika ia juga ingin melihat secara normal seperti yang orang lain lihat? Hidup dengan memandangi dunia yang berwarna hitam dan putih tidak semudah yang dibayangkan meskipun Mistuko yakin Haruki tahu betul soal itu sejak dahulu.
"Kemarilah." Haruki memberi instruksi agar Mitsuko duduk di sebelahnya. Mitsuko sejak tadi memang hanya berjongkok sembari memperhatikan bunga sakura yang gugur di tanah seperti seseorang yang baru pertama kali melihatnya.
Langit Tokyo terlihat sangat indah sore ini. Alunan lembut "The Days That'll Never Come" menemani perbincangan kedua remaja yang telah bersahabat sejak masih di taman kanak-kanak itu. Mitsuko masih mendongak, memandangi pohon-pohon sakura yang berguguran.
"Mitsuko, percayalah bahwa dunia akan tetap indah bagi mereka yang bahagia. Hidup ini bukan hanya perihal warna-warni yang menghiasi bumi. Untuk apa matamu mampu menangkap warna-warna itu jika orang-orang yang kau sayangi tidak ada lagi bersamamu? Bukankah jika begitu dunia akan sama saja terlihat abu-abu?"
Mitsuko tertegun. Ucapan Haruki benar. Yang membuatnya bahagia bukan hanya perihal dapat melihat betapa indahnya Tokyo yang diselimuti warna merah muda saat musim semi atau rerimbunan hijau yang menyejukkan saat musim panas. Ia juga tak harus melihat seluruh kota diselimuti dedaunan oranye untuk meyakinkan keindahan momiji atau melihat seberapa putih salju yang menyelimuti jalanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring Time
Fiksi Remaja"Mou ichido, kimi to sakura o mite hoshii." Sebagai pengidap monokromasi, Mitsuko terbiasa dengan kehidupan yang kelabu, selama Haruki berada di sebelahnya. Haruki adalah alasan di balik semangat dan keinginan Mitsuko untuk menekuni musik, khususnya...