Mitsuko menyesap matcha latte yang ia pesan beberapa menit lalu. Matanya masih fokus menatap partitur yang ia buat untuk Tomoya. Partitur itu harus selesai besok, jadi ia tidak boleh kehilangan fokus lagi seperti kemarin-kemarin.
"Konnichiwa." Sebuah suara yang mulai tidak asing di telinganya terdengar dari arah belakang.
"Ah, Naoki-kun. Konnichiwa." Mitsuko tampak terkejut, tetapi kemudian ia melempar senyum.
"Sedang menyelesaikan partitur?"
Mitsuko mengangguk diikuti senyum. Sejujurnya, ia masih merasa canggung saat berinteraksi dengan Naoki. Namun, ia juga tidak bisa menafikan kenyataan bahwa sifat ramah Naoki membuatnya nyaman. Dan, tatapan mata Naoki, entah mengapa selalu saja mengingatkannya pada Haruki.
"Boleh aku duduk di sini?"
Mitsuko sesaat menautkan alis. "Kenapa tidak?"
Naoki tersenyum antusias. Ia menarik kursi. Sebelum itu, lelaki itu memesan matcha latte dingin.Naoki memperhatikan Mitsuko sambil tersenyum. Rasanya seperti mimpi bisa kembali melihat wajah seseorang yang berharga dalam hidupnya. Tuhan sangat baik padanya.
"Apa ada yang salah dengan wajahku?" tanya Mitsuko saat tak sengaja melihat dari sudut mata bahwa Naoki memperhatikannya.
"Ah, tidak. Aku hanya ...." Naoki mengusap tengkuknya.
"Em, itu ... maksudku ... apakah kau bersedia mengajariku menulis partitur?"
"Tentu saja." Mitsuko tersenyum lembut. "Dahulu, Haruki juga suka sekali melihatku saat tengah menulis partitur. Akhirnya, dia jadi minta diajari juga." Mitsuko tertawa kecil, lebih seperti tawa untuk menutupi kesedihan.
"Aku dengar, kau akan mewakili sekolah untuk mengikuti Tokyo Music Festival. Benarkah?"
"Em ... sebenarnya aku masih belum memutuskan untuk menerimanya."
"Kenapa? Bukankah kau suka piano?"
"Ya ... sampai Haruki pergi ...." Mitsuko menatap ujung sepatunya. Hari ini ia juga tidak tahu apa warna sepatunya. Entah apakah cocok dengan warna bajunya, entah tidak.
"Maaf ... aku tidak bermaksud ...."
"Tidak masalah, Naoki-kun."
"Kau tidak ingin menerima tawaran itu?" tanya Naoki setelah diam beberapa saat.
Mitsuko hanya mengedikkan bahu. Matanya kembali fokus pada kertas paranada. Sesekali ia menyesap matcha latte-nya yang sudah mulai dingin."Mitsuko, boleh aku mengatakan sesuatu?"
Mitsuko diam sejenak sebelum menjawab. "Tentu saja. Silakan."
"Kau tentu boleh bersedih karena kepergian Haruki. Kau boleh menangis sebanyak yang kau mau. Kau boleh mengingat segala tentang Haruki sebanyak yang kau mampu. Tapi ...," Naoki meletakkan gantungan kunci berbentuk treble clef di dekat tangan Mitsuko, "aku tahu kalau kau selalu ingin menyampaikan semua kesedihanmu pada Haruki melalui musik. Aku tidak bisa mengingat dengan jelas, tetapi bukankah Haruki pernah mengatakan pada kita kalau music selalu bisa menyampaikan apa pun yang kita rasakan?"
Mitsuko terdiam. Matanya memperhatikan ukiran treble clef berbahan akrilik di dekat tangannya. Sejauh yang mampu ia ingat, sejak mengemal Haruki, musik sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ia selalu bahagia saat mendengarkan alunan piano Haruki sampai diam-diam belajar memainkannya hanya karena ingin membuat Haruki terpukau.
Jauh dari hatinya, rasa nyeri akibat kehilangan Haruki datang lagi. Mitsuko masih tidak menyangka bahwa kehilangan Haruki akan sangat memengaruhi kehidupannya seperti ini. Padahal, Mitsuko sudah berjuang sekuat tenaga agar bisa kembali menjalani hidup dengan normal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring Time
Novela Juvenil"Mou ichido, kimi to sakura o mite hoshii." Sebagai pengidap monokromasi, Mitsuko terbiasa dengan kehidupan yang kelabu, selama Haruki berada di sebelahnya. Haruki adalah alasan di balik semangat dan keinginan Mitsuko untuk menekuni musik, khususnya...