Begitu tersadar, aku telah berada disebuah ruangan yang serba putih. Dinding bercat putih, tempat tidur bahkan selimut berwarna putih, selang infus yang terletak di pergelangan tanganku dan bau obat yang menyeruak masuk ke indera penciumanku. Apa aku di rumah sakit? Tebakku. Lalu pandanganku jatuh pada sosok Oliver yang sedang tertidur pada sebuah sofa hijau panjang yang terletak di bawah kaki tempat tidurku.
Tanganku menarik selimut hingga memperlihatkan kedua kakiku, mendapati sudah tak ada darah lagi disana tetapi aku masih memakai pakaian yang sama dengan yang kupakai sebelumnya. Kepalaku menunduk menatap perutku yang tak lagi nyeri, masih bertanya-tanya apa yang terjadi padaku.
Pandanganku sekali lagi jatuh pada sosok Oliver yang masih tertidur. Ukuran sofa tempatnya tertidur tidak dapat menyembunyikan kaki panjangnya yang terjulur melewati batas sofa itu. Kuhela napas panjang ketika mengingat percakapan terakhir kami, Wella. Aku benci dengan rasa panik yang kurasakan setiap kali nama wanita itu muncul entah dihadapanku atau dibenakku. Aku membenci jika aku harus mendapati diriku meringkuk dan menangis diatas tempat tidurku setiap kali wanita itu muncul.
Sedikit rasa nyeri membuatku mendesis ketika aku melepaskan jarum infus yang terpasang di tanganku. Aku lalu bangkit menuruni ranjang dan berjalan keluar kamar setelah memperhatikan Oliver yang masih tertidur lelap. Begitu berada di lorong, aku segera mengetahui dimana aku berada. Ini rumah sakit tempat Berinda dirawat kemarin dan juga tempat dimana Winanta tertua bekerja disini.
Aku cukup menyadari betapa diriku menarik perhatian dari orang-orang yang kulewati. Kuturunkan tatapanku beralih pada celana dengan noda darah diantaranya. Cukup aneh menurutku, tapi—hey, ini kan rumah sakit, santai saja Lis, batinku.
Tepukan di pundakku membuatku terkejut sekaligus menoleh lalu kembali mengeluarkan umpatan begitu tahu siapa yang menepuk pundakku.
"Seharusnya kau beristirahat dulu," seru Deffa yang masih mengenakan jas dokternya.
Secara otomatis salah satu tanganku meraih tengkukku yang sama sekali tidak terasa gatal. "Oh Yeah. Aku hanya ingin ke kantin. Kurasa aku butuh kafein," jelasku.
Kedua mata Deffa tampak membesar, seperti terkejut mendengar ucapanku sebelumnya.
"Kau tidak boleh mengkonsumsi segala hal yang berbau kafein dan juga alkohol, Lis," serunya.
"kenapa tidak? Toh aku sedang tidak menderita penyakit apapun kan?" tanyaku.
Deffa memutar bola matanya. "Kurasa adik bodohku itu belum memberitahumu," gumamnya.
"memberitahu apa?" sidikku.
"Kau sedang hamil," jelasnya.
Aku tertawa mendengarnya, "Itu tidak lucu, Def," kataku.
Dia memasukkan kedua tangannya kedalam masing-masing kantong disisi jubah dokternya. "trust me, Lis. It's not a joke," jawabnya yang seketika membuat tawaku terhenti.
"Ya Tuhan, apa kau yakin? Aku tidak mungkin.. Maksudku, kami sudah lama tidak berhubungan—"
"7 minggu. Usia yang rawan untuk kandunganmu. Jika aku jadi kau, aku akan tetap berada di tempat tidurku," sarannya lalu meninggalkanku yang masih memproses informasi yang ada.
Shit! Aku hamil—
Kuputar tubuhku dan dengan sejuta emosi yang saat ini kurasakan, kulangkahkan kakiku cepat berjalan menuju kekamar tempat dimana pria itu ada.
***
Aku tidak tahu apa itu, tapi apapun benda yang saat ini mengenai kepalaku cukup membuatku segera tersadar dari tidurku dan dengan sigap menangkap benda terakhir yang baru saja dilemparkannya kearahku. Sebuah remote AC!
KAMU SEDANG MEMBACA
Comes After You
RomancePria itu tiba-tiba muncul dihadapanku. Kerja di perusahaan yang sama denganku. Dan membawa kenangan dari masa lalu yang sudah terlupakan selama 10 tahun. Sanggupkah aku menghadapinya? Menghadapi perasaan aneh yang sekali lagi menggelitik perasaanku...