10 - Queen

1.8K 153 21
                                    

Pintu terbuka lebar yang kemudian di susul pria itu yang tampak... Entahlah, di matanya saat ini pria itu terlihat panik. Tapi mungkin juga itu kesalahan mengingat matanya yang menyipit membengkak akibat terlalu banyak menangis.

Dengan langkah lebarnya tak membutuhkan waktu lama bagi pria itu sampai dihadapannya. Sejurus kemudian telapak tangannya yang besar dan dingin menempel di keningnya.

"Hangat. Kau demam, sebaiknya kita ke rumah sakit."

Sontak ia menggeleng membuat dahi pria itu berkerut lengkap dengan tatapan tak senangnya. "Kau harus segera di periksa dokter."

Lagi, ia menggeleng. Ia tak membutuhkan rumah sakit atau pun dokter. Yang ia butuhkan hanya keberadaan pria ini, ia tak membutuhkan yang lainnya lagi.

"Minum obat saja sudah cukup. Nanti aku akan sembuh dengan sendirinya. Biasanya juga seperti itu." Tanpa di sadarinya nada bicaranya merendah.

Pria di depannya hanya menghela nafas dan tak mengatakan apapun lagi. Untuk pertama kalinya ia merasa senang karena Mike menurutinya.

"Kau benar-benar tidak ingin pergi ke rumah sakit?"

Ia menangguk untuk menegaskan jika itu tak perlu. Yah, sejak dulu jika sakit ia terbiasa hanya di beri obat dan setelah itu ia akan sembuh dengan sendirinya. Bagi dirinya yang hanya seorang yatim piatu perawatan rumah sakit merupakan hal yang mewah. Meski kini ia telah bekerja dan menghasilkan uang, ia sudah terlalu terbiasa dengan itu. Jadi ia rasa cukup meminum obat dan beristirahat maka esok ia akan kembali seperti semula.

"Kau sudah makan?"

Lagi geleng ia berikan membuat pria itu kembali mengerutkan keningnya membuatnya seketika cemas. Bagaimana jika Mike kembali pergi karena merasa kesal padanya, seketika matanya kembali memanas. Ah, hari ini entah mengapa ia cengeng sekali. Sontak ia meraih lengan Mike saat pria itu hendak beranjak.

"Jangan tinggalkan aku."

Queen tak bermaksud membuat suaranya terdengar manja, tapi mungkin karena ia banyak menangis suaranya menjadi serak. Tatapan pria didepannya berubah dalam.

"Kenapa di saat sakit seperti ini kau masih berusaha menggodaku. Ah, sudahlah." Pria itu menyugar rambutnya ke belang "Aku akan ke dapur, tunggulah disini." Tanpa memgunggu tanggapan darinya pria itu berlalu keluar dari kamar.

Sepuluh menit berlalu namun Mike masih belum kembali membuatnya seketika merasa cemas. Mungkinkah pria itu pergi? Tanpa memperdulikan apapun ia keluar dari kamar untuk mencari pria itu. Ruang tamu yang kosong membuatnya seketika merasa hampa. Namun, aroma harum yang menguar dari arah dapur serta suara dentingan membuat kakinya berbelok hingga menemukan pria yang tengah berdiri di depan kompor.

"A-apa yang kau lakukan?"

Pria itu menoleh. "Memasak, apalagi. Jika tak ingin ke rumah sakit kau harus minum obat." Terlihat pria itu kembali mengaduk sesuatu di dalam panci.

Ia terpaku di tempat menatap pria yang tengah serius dengan kegiatannya dengan apron yang melingkar dipinggangnya. Benarkah Mike memasak untuknya? Pria itu, CEO dingin yang terkrnal bertangan besi benar-benar terjun ke dapur untuk kekasih gelapnya?

Terilhat kedua lengan kemejanya ia gulung hingga siku membuat pria terlihat sangat sexy. Ah, berkali-kali lebih sexy dari biasanya.

"Tunggulah sebentar disana." Mike menunjuk salah satu kursi makan memintanya untuk duduk. Ia menurut dan duduk memperhatikan punggung pria yang tengah pokus pada masakannya.

Rasanya seperti mimpi. Ini pertama kalinya ia melihat pria ini melakukan hal lain selain bekerja atau bergerak di atas ranjang. Sesuatu seperti ini benar-benar di luar imajinasinya bahkan imajinasi terliarnya sekali pun.

Bau harum menguar memenuhi penciuman wanita yang tengah bertopang dagu dengan tatapan yang terus tertuju pada pria yang kini berbalik dengan semangkuk bubur di tangannya.

"Makanlah!" Pria itu mengangsurkan bubur panas yang telah di buatnya selama kurang lebih setengah jam, tatapannya yang sedalam malam menatap lekat wanita yang terlihat pucat itu.

"Hati-hati, itu masih panas."

Queen mengangguk dan mulai menyendok bubur itu dan meniupnya hingga tak terlalu panas untuk masuk ke dalam mulutnya. Sebenarnya ia tak berselera untuk makan apapun. Tapi ini pengecualian. Bubur itu di buat oleh pria yang telah lama ia cintai diam-diam. Semua sakitnya rasanya terbayarkan hanya dengan apa yang pria ini lakukan saat ini.

Mike bangkit berjalan pergi dan kembali dengan beberapa butir obat demam uang ia ambil dari kotak obat. "Selesai makan minum semuanya." Pria itu menaruh obat-obat di itu di mangkuk kecil bersama segelas air yang ia tuangkan.

"Kau tidak makan?" Bella baru teringat jika sejak tadi pria itu hanya duduk diam memperhatikannya makan.

"Tidak. Aku sudah makan tadi."

Ia hanya mengangguk mendengar hal itu. Tentu saja ia tau dengan siapa pria ini menghabiskan makan malamnya. Mengingat hal itu kembali menghadirkan rasa sakit di dalam dadanya.

Bubur itu secara ajaib memiliki rasa yang lezat, tak butuh waktu lama untuk semuanya berpindah ke perutnya. Mike membantu mengulurkan pil-pil obat yang harus diminumnya, dengan patuh Bella pun meminumnya.

Keduanya kembali ke kamar. Bella berbaring seperti yang pria itu perintahkan. "Tidurlah, jangan membuka matamu terus." Nada pria itu terdengar kesal atau semacamnya mungkin karena wanita di depannya dengan keras kepala terus membuka matanya.

"Jangan pergi."

Nada harap begitu kental dari suara lirih wanita yang terbaring di atas ranjang. Mike mengusap wajahnya berusaha untuk menahan kekesalannya, ia baru mengetahui di saat kekasih gelapnya sakit akan semanja dan menjengkelkan ini. Berkali-kali ini telah meyakinkan jika ia tidak akan pergi namun sepertimya itu tak membuat wanita ini puas dan percaya. Akhirnya ia menyingkab selimut dan ikut naik ke atas ranjang, memejamkan matanya dan menutupnya dengan sebelah lengan. "Sekarang tidurlah!"

Queen hanya merasa takut pria ini akan kembali pergi untuk menghabiskan waktu bersama tunangan cantiknya itu sebabnya ia enggan menutup mata dan saat membukanya nanti ia menyadari pria ini telah kembali meninggalkannya seperti malam-malam sebelumnya. Ia tak mengharapkan tindakan pria ini yang naik dan bergabung berbaring bersamanya. Namun, jelas ini lebih dari yang ia harapkan. Ia memberanikan diri menggeser tubuh agar lebih dekat dan mencium aroma musk pria yang menguar memenuhi rongga dadanya. Tak butuh waktu lama baginya untuk benar-benar terlelap. Di saat itu pria di sampingnya menyingkirkan lengannya dan membuka mata. Mata hitam itu menatap sosok wanita yang tidur lelap dengan eskpresi damai entah karena pengauruh obat atau memang merasa nyaman.

"Rasanya aku seperti tak mengenalmu."

Tatapan rumit Mike layangkan pada wanita yang meringkuk seperti bayi mencari perlindungan di sampingnya kini. Ia memperbaiki selimut yang sedikit melorot kemudian berbaring menyamping agar dapat melihat sosok ini lebih jelas.

Baginya. Ia terbiasa mengenal sosok seorang Queen sebagai wanita gila uang yang tak mementingkan hal-hal berbau emosi. Jika pun wanita ini bermanja-manja itu biasa di atas tempat tidur yang tentunya untuk merayunya. Setelah ia mengirimkan sejumlah uang ke rekeningnya wanita ini akan diam. Ia terbiasa mengenal sosok Queen yang seolah tak memerlukan apapun di dunia selain sesuatu berbau uang dan kekayaan.

Ibu jarinya menyapu pipi pucat itu dan turun ke bibir yang sedikit pecah. Panas tubuh wanita ini tak sepanas tadi namun tetap membuatnya cemas. Wanita ini menolak untuk pergi ke rumah sakit, ia tak memiliki pilihan lain selain menjaganya takut hal buruk tak diinginkan terjadi. Apalagi wanita ini tak memperkerjakan seorang asisten rumah tangga pun yang bisa mengawasi kondisinya jika ia pergi.

Akhirnya setelah satu jam ia habiskan untuk menatap wanita yang tertidur itu ia juga memutuskan untuk tidur. Ia meraih kepala wanita itu dan merengkuhnya dalam pelukannya. Ia mengabaikan seruan di kepalanya yang memintanya untuk tak terlalu terlarut dalam perasaan sepihaknya. Tapi untuk kali ini ia memilih mengikuti kata hatinya.






Tbc..

**

19 September 2021

The Billionare's SlaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang