Beberapa hal membuat kita sedih dan sesak. Sering kali rasa pengakhiran itu hadir. Tapi tidak semudah itu untuk pergi meninggalkan semuanya. Barangkali perlu bagi kita untuk merenungkan luka-luka itu dan membiarkannya berlalu dengan hati yang damai.
-Rain and Rain-
Alana terdiam menatap Tania bersama temannya dari jauh. Mereka begitu asik berbincang-bincang sesuatu sambil memakan camilan di ruang dance. Ia menghembuskan nafas panjang dan mencoba untuk menerimanya. Ia sadar, kehidupannya akan terus berlanjut dan tidak bisa berhenti di satu titik. Begitupun dengannya dan Tania. Kelak mereka akan berpisah secara perlahan dengan kesibukan masing-masing.
"Kasian ditinggal temen," ucap seorang melewatinya di belakang. Alana tidak ambil pusing dan segera pergi dari sana.
Langkahnya terhenti, dan dengan cepat tangannya merogoh hape yang bergetar di saku. "Hallo?" ucapnya karena itu nomor tak dikenal.
"Ketemuan di gudang paling belakang sekolah!" Alana mendesis sebal saat sambungan telepon di tutup sepihak dan dengan malas ia berjalan menuju tempat yang telah ditentukan.
Alana segera memasuki gudang, terlihat seorang laki-laki dengan seragam yang sama berdiri berlawanan arah darinya. Ia membulatkan mata malas. "Udah berapa kali gue bilang, —"
"Nih! Udah diem, dan terima aja! Nggak usah pake ngoceh nggak jelas!" Ia memberikan Alana sebuah amplop coklat yang berisikan uang.
"Gue heran, kenapa nggak langsung kasih ke elo aja, sih?! Pake di titipin ke gue! Ngrepotin aja!" dumelnya lalu segera melangkah pergi.
Alana menarik nafas dalam-dalam dan menerima uang itu. "Eh," pekiknya saat pria itu membalikkan badan dan menarik tangannya untuk bersembunyi di belakang lemari-lemari tua.
Alana memukul tangan pria itu karena terus membekap mulutnya. "Diem, lu ...!" bisiknya dengan geram.
"Ada orang!" lanjutnya membuat Alana berhenti memukul. Lalu pria itu melepaskan bekapannya, tak lupa ia mengelap tangan bekas bekapan itu ke bahu Alana.
"Jijik!" ucapnya membuat Alana sebal. Setelah itu, ia dengan seksama mendengarkan perbincangan orang yang baru saja datang.
"Gimana?" tanya seorang pria.
"Gue ... gue gagal!" jawab si wanita.
"Maksud lo apa, Jess?!" tanyannya sedikit meninggi. Alana dan pria di sampingnya saling menatap heran bercampur bingung.
"Gue gagal aborsi!" jawaban Jessika. Alana spontan menutup mulutnya sambil melotot sempurna.
"Brakk!!!" pria itu menendang kursi di dekatnya berhasil membuat dua manusia di balik lemari itu berjengit kaget.
"Anjir, kaget gue," lirih pria itu.
"Aakh! Sial! Terus gimana, Jess?" tanyanya dengan berat dan bingung.
"Gue juga bingung, Bram! Lo juga jangan cuma nyalahin gue! Ini semua juga karena elo! Hiks," ucap Jessika begitu tertekan. Tangisnya mulai pecah.
"Gue ... gak mau punya anak di usia kayak gini! Gugurin, Jess! Apapun caranya lo harus gugurin!" tegasnya membuat Jessika menatapnya penuh kecewa dan amarah.
"Lo ... bisa-bisanya lo ngomong hal kayak gini segampang itu? Lo pikir gue gak kesiksa? Gue lebih kesiksa karena ngandung anak sialan ini!!!" seru Jessika frustasi.
"Gue udah lakuin hal yang lo mau buat gugurin ini bayi! Tapi gak bisa! Nggak bisa, Bram! Hiks ... gue juga nggak mau punya anak sekarang ...! Apalagi dengan cara kayak gini. Lo harusnya juga ngertiin perasaan gue ... hiks!" Jessika terduduk lemas sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Bram mendesah resah. Ia menyugarkan poninya yang agak panjang ke belakang sambil memikirkan cara untuk menggugurkan janin dalam kandungan Jessika. "Oke! Gue ... gue punya dokter pribadi! Kita bisa ke sana dan minta mereka buat bantu lo ngegugurin janin itu. Dan kita harus berhasil!"
"Denger, Jess ...!" Bram jongkok dan memegang kedua bahu Jessika.
"Gue ... nggak mau jadi orang tua untuk saat ini. Lo juga, kan? Masa depan kita masih panjang, dan gak mungkin kita korbanin cuma demi janin ini. Ini sebuah kecelakaan! Oke?" ucap Bram menenangkan Jessika yang masih senggukan.
Jessika hanya mengangguk, lalu mereka berdiri. "Lo pergi ke kelas. Sebentar lagi masuk," ucapnya dengan lembut pada Jessika. Jessika mengangguk dan segera pergi dari tempat itu.
Bram terdiam sesaat. Lalu ia menendang meja di depannya. "Aaakhh!" teriaknya.
"Eeekkk ...!" Alana menutup mulutnya karena bunyi sendawanya. Ia menatap pria di sampingnya dengan melas. Sedang pria itu melotot tak percaya dan menggerakkan tangannya seakan-akan ingin mencekik Alana. Alana hanya menggeleng sambil menutup mulutnya.
Bram yang ingin pergi itu pun menghentikan langkahnya saat mendengar bunyi orang bersendawa. Ia mencari sumber suara itu dan melangkahkan kakinya ke arah lemari tua di belakangnya. Pria di samping Alana melotot dengan jengkel, lalu menggerakkan tangannya ke leher.
"Mati, mati!" ucapnya tanpa suara membuat Alana semakin takut dan bingung harus bagaimana.
"Dddrrrttt ...," getar hape Bram.
"Halo!" ucap Bram setelah mengangkatnya.
"Hm, oke," jawabnya dan langsung mematikan sambungan. Bram menengok sebentar ke belakang. Ia melihat seekor tikus keluar dari belakang lemari tua itu. Ia mengedikkan bahunya bodo amat dan segera meninggalkan gudang sekolah.
Pria itu memejamkan matanya dan menghela nafas lega. Alana melepas bekapan dengan tangannya sendiri, lalu mengambil nafas rakus. "Alhamdulillahh ...," syukurnya.
"Untung kita selamat! Kalau enggak?! Mati!" ucapnya membuat Alana menyesal telah bersendawa di waktu yang tak tepat.
"Lo, tuh, cewek! Masak lo sendawanya kayak laki-laki, sih! Mana keras banget! Hihhh ...!" ucapnya dengan ekspresi ilfeel.
"Ya, terserah gue!" ucap Alana sewot. Ah, menyebalkan sekali pria itu. Lagipula apa pedulinya? Bah, rasanya ingin ia menjotos bibir penuh dosa milik pria itu. Dengan langkah kesal ia segera pergi meninggalkannya sendiri.
🍃🍃🍃
Alana merebahkan tubuhnya dikasur. Ia memejamkan matanya sambil menghirup udara dengan rakus. Sungguh memusingkan sekali masalah hidupnya. Ia pun jadi kepikiran tentang Jessika. Sejujurnya ia tidak setuju jika Jessika menggugurkan bayinya. Apalagi bayi itu tidak bersalah. Namun, dilihat dari kondisi, apa mungkin ia juga akan melakukan hal yang sama? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Karena rasanya pasti sangat menyakitkan juga. Tapi, ya bodolah! Itu masalah Jessika dan Bram. Bukan masalahnya. Titik!
Alana bangun dan segera membuka tasnya. Ia terdiam saat tidak menemukan barang yang ia cari. Lalu merogoh sakunya, tidak ada. Ia terus menggeledah tasnya berulang kali dan mencarinya di dalam buku-buku. Jantungnya mulai berdegub tidak karuan. Ia mendesah frustasi karena tidak menemukan benda yang ia cari.
Jika uang itu hilang ia tidak terlalu takut, tapi yang ia takuti ada namanya di dalam amplop itu. Apa jangan-jangan ...?
"Aaaakkhhh!!!" teriaknya frustasi.
🍃🍃🍃
📝Tulungagung
Selasa, 10 Agustus 2021.❤See U
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain and Rain
Novela JuvenilRain and Rain. Untuk semua umur. Alana tidak tau kenapa mereka begitu benci dan mengganggunya. Apa harus seperti ini mereka menunjukkan rasa tidak sukanya? Ia bingung dengan apa yang mereka benci darinya. Cantik dan kaya? Bah, Alana itu pas-pasan da...