[Author PoV]
Seleksi udah dimulai sekitar lima belas menit. Beberapa supporter setia yang menyempatkan diri datang sudah mulai ribut-ribut mendukung pemain Pandawa. Sebagian memakai atribut pemain, sebagian mengibar-ngibarkan bendera, sebagian cuma rusuh di pojokan dan teriak-teriak. Bukan untuk idola mereka, tapi teman mereka sendiri. Atau malah tetangga.
Klub lokal seperti itu.Latief baru saja selesai sesi pertamanya. Sambil mengelap keringat dengan kerah kausnya, ia melangkah ke pinggir lapangan. Mencoba cuek atas pekikan-pekikan mengganggu di pinggir lapangan, yang ia tahu dari penggemar-penggemar wanitanya yang rusuh. Sebagian besar pasti dari SMK tempatnya dulu sekolah. Juniornya tak berhenti mengejarnya meski sudah masuk kuliah.
Tiba-tiba suara sorak-sorai itu terasa surut begitu saja begitu kedua mata Latief terpaku disana. Memergoki sosok pendek kurus itu mengintip dari balik lorong menuju locker room.
Habibie?
Langkah Latief berhenti seketika. Bengong karena degupan jantungnya memburu melihat sosok Habibie. Dalam hati menghitung, sudah berapa lama ia tak melihat kawan karibnya itu?
Latief tersenyum ringan, benar kata Eka, penampilan Habibie banyak berubah.
Lebih dari itu...
Terakhir kali mereka bertemu adalah ketika Habibie mengungkapkan apa yang selama ini dirahasiakannya.
Haduuuh, tampang apa yang harus dia pasang untuk menghadapi itu lagi, begitu batin Latief sadar tak sadar, tapi mencoba stay cool stay bego seperti biasanya dia lakukan.
Bagaimanapun, sebagai seorang kapten, misinya bukan motif pribadi. Tak bisa ia mengalahkan kewajibannya menyelesaikan masalah dalam klub dengan kengerian masalah pribadinya sendiri.
Sekilas kemudian sepasang mata Habibie membulat shock melihat Latief menyadari keberadaannya. Dengan gerakan kikuk karena gelagapan, Habibie berniat kabur, kalau saja Latief tidak lebih dulu meneriakinya. Mau tak mau, ngeri-aside.
"WOY! OZORAAA!"
Habibie kaku seketika. Niatnya lari malah membatu. Meringis ketika mendengar langkah kaki Latief berlari kecil ke arahnya.
"Ozora! Waaah, lama banget gue nggak ketemu elo!" suara riang Latief yang biasanya. Sudah lama sekali sejak Habi menolak untuk mendengarnya lagi.Hati-hati, Habibie berbalik. Menatap takut-takut kawan lamanya itu. Latief meringis. Mengulurkan tangannya dan mengacak-acak rambut Habibie.
"Gila lo sekarang gayanya! Ahahhahaha. Kebanyakan maen layangan sampe punya rambut jagung begini?! Hahahaha."
Kepala Habibie bergoyang ke kanan dan kiri karna gerakan kasar Latief yang dengan gemas membuat rambut cokelat terangnya berantakan. Masih termenung karna Latief terdengar biasa saja setelah insiden diantara mereka berdua.
Apa Latief sudah lupa bagaimana Habibie sebenarnya?
Tidak juga.
BAGAIMANA BISA LUPA?!
Habibie baru berani mendongak dan menatap Latief saat lelaki yang tingginya hampir sama dengannya itu menghentikan gerakan tangannya di kepala Habibie. Kini ia tersenyum, berkacak pinggang dan menatapnya dengan tatapan takjub.
Latief menghela nafas lega, "Hah... gue hepi banget liat lo pake seragam lagi."
Pandangan Latief menelusur ke atas dan ke bawah. Lalu tertawa riang lagi.
"Gue seneng lo mau balik."
Habibie cuma bisa mengangguk bingung."Temen-temen, Pak Indra... Kita semua nungguin lo balik," senyum Latief berubah tenang, sorot matanya berubah rindu. Mungkin lebih dari ngeri, ia lebih rindu kehadiran Ozora-nya, "terutama gue..."

KAMU SEDANG MEMBACA
FANBOY!
Fiksi RemajaBuat Eka, Habi adalah partner terbaik di lapangan rumput hijau. Permainan tidak pernah seru tanpa striker bernomor punggung 10 itu. Tapi tiba-tiba Habi mogok main bola dan memilih jadi... Fanboy?! Habi kenapa, sih?! FT Island? Hongki? Jonghun? Siapa...