Brotherhood yang Kalian Sebut Bromance itu...

8.8K 829 117
                                    

Bingung, gue memutuskan buat pergi ke rumah Habi.

Daripada gue terus-terusan dihantui kalimat-kalimat kutukan Yoshi, mendingan gue pastikan sendiri. Bicara empat mata layaknya laki-laki sejati!

Gue yakin gue bukan gay! Yakin! Gue masih hobi sama paha, dada, betis sama tengkuk. Ngeselin untuk ngakuin ini, tapi bodi Yoshi masih bisa bikin gue deg-deg-serr. Tapi Habi?

Heh?

Kata Yoshi gue punya ketertarikan terselubung sama Habi. Darimana? Gue yakin kedekatan gue sama Habi adalah ikatan pertemanan. Kalo gue bilang, Brotherhood. Tapi Yoshi yakin banget kalo itu adalah Bromance.

Dia bilang pertemanan antara sesama laki-laki tidak akan seposesif itu. Apa iya?

Kayaknya Yoshi salah ngertiin sikap gue ke dia tentang Habi. Gue nggak suka Yoshi deket-deket sama Habi karena dia itu punya pengaruh yang nggak baik buat Habi. Apa itu salah?

Gue anggep Habi saudara gue sendiri karena gue udah temenan sama Habi sejak kecil. Di komplek, cuma kami berdua yang seumuran. Kami sama-sama punya hobi main bola dan jadi combo paling keren di lapangan. Semenjak Habi lupa sama cita-citanya untuk main bola pro di klub dan gue merasa kehilangan partner sekaligus rival, apa itu berarti gue punya perasaan khusus buat dia? In a romantic way?

Nggak mungkin!

Nggak mungkin, kan?

Kenapa gue jadi kedengeran nggak yakin? ==

“Apaan, Ka?” Habi muncul dari pintu depan setelah tadi Bilqis adiknya manggilin dia buat gue, "gue lagi bantuin Ummi bikin bakso, nih. Enak, lhooo!"

Habi keliatan santai dengan kaos oblong dan celana kolor kotak-kotak diliat dari penampakannya kayaknya ni bocah belom mandi. Rambut talang airnya semrawut nggak karuan, sementara kerak iler di sudut bibirnya masih tersisa. Biasanya memang seperti ini di hari Minggu pagi, waktunya bersantai.

Tapi kayaknya degupan jantung gue yang nggak nyantai.

“Bi, gue bukan gay.”

Habi mengerutkan keningnya bingung.

Astaga, kelamaan nunggu dan mikirin kalimat yang harus gue bilang di depan Habi bikin gue merasa udah ngucapin semua kalimat pengantar yang ternyata cuma ada di kepala gue doang.

Bego.

Ya jelaslah si lemot ini bingung.

Tapi buat apa gue sampe segrogi ini? ==”

“Maksud gue, Yoshi kan kemaren—“

“Lo jadian sama Yoshi?!”

Kali ini gantian gue yang bengong. Kenapa ni bocah jadi ambil kesimpulan kesitu?

“Siapa yang bilang?!”

“Lo kan yang barusan bilang? Lo bilang, lo bukan gay. Dan yang bisa buktiin kalo lo bukan gay adalah, lo jadian sama cewek,” jelas Habi sambil garuk-garuk kepala, “jadi siapa? Yoshi?”

“Bentar... Lo jangan langsung ambil kesimpulan gitu, dong. Gue jadi ilang fokus sama yang mau gue omongin!”

Gue nggak ngerti kenapa makin kesini rasanya makin susah ngomong sama Habi. Nalarnya bergeser, logikanya semrawut. Gue bingung harus mulai darimana.

Tanpa dipersilakan, gue duduk di kursi teras. Habi masih pasang tampang heran, sementara gue garuk-garuk kepala puyeng.

“Gini, Bi...”

Gue liat Habi udah mulai mendengarkan. Gue atur nafas beberapa kali supaya semua kalimat yang mau gue bilang bener-bener keluar dengan lancar tanpa ada pergeseran makna dari mulut gue.

FANBOY!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang