Bab 2: Iris yang Membawa Teror

472 100 7
                                    

“Kau yakin akan pergi dengan keadaan seperti itu?”

Alisia memunggungi cermin setelah merapikan potongan gaun sederhananya yang kuning pucat sepuluh senti di bawah lutut, lantas menemukan ibunya memamerkan kecemasan di tiap kerut wajahnya di ambang pintu.

“Luka ini? Tidak apa-apa, Bu. Hanya luka kecil. Aku bisa menutupinya dengan bedak dan foundation. Lagi pula aku sudah berjanji untuk datang.” Alisia kembali menghadap cermin untuk membenahi ikatan kuat rambutnya yang dikucir tinggi.

Greta tersenyum. Alisia selalu tampil cantik, walau berpenampilan sangat sederhana seperti malam ini. Aura kecantikannya tidak pernah menipu, justru terpancar ganas semenjak ia mendapatkan menstruasi pertamanya. Greta khawatir dunia di luar sana berisi laki-laki kejam yang berbahaya bagi putrinya. Takut Alisia-nya kenapa-kenapa. Namun jauh lebih merisaukan dari pada mereka adalah pada saatnya Alisia mengetahui siapa dirinya dan kegelapan membawanya kembali.

“Ibu, kenapa setiap hari kau selalu berkerut? Apa yang Ibu cemaskan?”

Tahu-tahu Alisia sudah berada di depannya, mengusap dahinya. Greta memaksakan senyuman.

“Alis, kau mungkin membohongi ibu soal luka-lukamu, tapi ibu tahu apa yang telah terjadi padamu.”

“Memang apa yang terjadi padaku?” goda Alisia lengkap dengan senyum jail.

“Kau disakiti dan kau menyembunyikan kebenaran supaya ibu tak khawatir padamu, kan? Teruslah berbohong. Ibu tak akan percaya dan akan selalu mengobati lukamu dengan kasih sayang.”

Alisia tersenyum sendu. Memeluk ibunya dari samping. Lantas memberi kecupan hangat di pipi Greta. “Aku tidak apa-apa, Bu. Maaf, jika Alis selalu membuat Ibu cemas. Alis berjanji akan menjaga diri dengan baik.”

Kau mungkin enteng berkata seperti itu, tapi kau tidak bisa menjaga diri dari Pangeran Kegelapan. Greta hanya bisa membatin. Belum sanggup mengungkapkan jati diri Alisia yang sebenarnya, meski sudah waktunya Alisia harus tahu.


***


Pesta borjuis selalu menyajikan hal mewah. Tidak mungkin tidak di rumah megah ini. Tamu undangan adalah sebagian besar teman sekolah Sarah. Penampilan mereka sudah pasti glamor dan tentu berasal dari tangga sosial yang jauh lebih tinggi dan setara. Mungkin hanya Alisia sendiri yang berada di kelas berbeda. Kelas proletar.

Alisia tidak mempermasalahkan status sosialnya. Atau bahkan gaun sederhana yang ia kenakan, sebab begitu ia tiba, gaunnya tergantikan oleh seragam maid. Jadi, ia dapat menyelinap ke dapur dan berbaur di antara para maid. Kemungkinan menjadi sorotan sangatlah kecil apabila ia tetap berada di sana.

Ia melaksanakan tugas selayaknya seorang pembantu. Mengantarkan minuman, makanan dan terkadang mencuci bekasnya. Ia terima semua itu, tapi tidak ketika Oliver dengan jas mahalnya mendekati Alisia yang sedang bekerja.

“Kau cocok juga dengan pakaian maid itu. Sangat cantik dan seksi.”

Alisia tidak menggubris, ia melanjutkan pekerjaannya dengan mengantar sebotol wine ke sudut ruangan besar itu. Oliver masih belum selesai, ia menarik lengan Alisia kasar, menyebabkan botol mahal di nampannya berberaian di lantai. Teriakan Alisia sama sekali tidak mendapatkan sedikit pun perhatian. Seorang maid di mata para Borjuis adalah hal paling tidak penting di dunia ini, sehingga tidak akan mungkin mereka berbelas kasih kepada seorang rendahan.


***


“Pangeran, mengapa Pangeran tidak membunuhnya begitu menemukannya? Mengapa Pangeran membiarkannya saja selama ini. Padahal Pangeran tahu benar bahwa takdir kematian Anda ada di tangan gadis itu.”

Lelaki itu menyesap anggur amat elegan. Belum juga membuka suara. Masih betah mengamati gestur seorang Alisia yang memakai seragam maid.

“Kau tidak punya hak mengaturku, Aldous.” Meski lelaki itu berkata datar, Aldous—kaki tangan lelaki itu—mengalami tremor dan ia buru-buru menunduk.

“Ma—maafkan atas kelancangan hamba, Pangeran.”

“Kau tahu, Aldous.” Lelaki itu menyesap kembali wine hingga tandas. “Aku akan menikahinya.”

Pernyataan tuannya berhasil membuat Aldous terbelalak, sulit baginya menelan saliva yang bagai seonggok batu besar menyumbat tenggorokan.

“A—apa Pangeran serius? Me—mengapa? Bu—bukankah dia akan membunuh Pangeran? Hamba sama sekali tidak mengerti.”

“Aku sedang mempertaruhkan nasibku sekarang.” Lelaki itu meletakkan gelas berkaki yang telah kosong ke meja, lantas berkata lagi. “siapkan segalanya malam ini juga. Kita akan membawanya pulang.” Begitu menyelesaikan kalimat perintah itu dengan dingin, lelaki itu menjauh mendekati satu titik.

“Baik, Pangeran.”


***


Alisia terlalu dini mengharapkan ia bisa pulang cepat dan tidur nyenyak. Nyatanya keberadaannya menjadi babu dijadikan mainan Oliver, Sarah dan teman-temannya. Wine yang belum pernah ia tenggak sebelumnya, getir menyentuh lidah dan tenggorokannya. Ia membungkuk terbatuk-batuk. Bukannya berhenti, mereka justru semakin menyiksa Alisia tanpa belas kasih. Gadis itu tak berdaya di kaki Oliver Bannet. Lalu sekali sentak, Alisia sudah berada di pelukan Oliver. Alisia sudah tak tahan. Seluruh emosinya tumpah ruah saat itu juga. Ia menangis terisak.

Saat Oliver hendak menciumnya, tanpa diduga lengan Alisia ditarik kasar dan seketika jatuh ke pelukan lelaki itu. Oliver membelalak menyadari siapa yang telah merusak kesenangannya. Lelaki yang sama yang telah mempermalukannya tadi di sekolah.

“Dia milikku.” Lelaki yang sama sekali tak diketahui namanya itu, menggendong  Alisia menjauhi sudut tergelap ruangan itu. Oliver menggeram. Ia tidak akan membiarkan lelaki sialan itu melakukan hal seenaknya. Kali ini ia serius memberikan ultimatum.

Teman-temannya kompak membantu mencegat lelaki itu menjauh. Namun entah mengapa tubuh mereka mendadak kaku tatkala sedetik Si lelaki menatap tepat ke mata mereka. Lantas suara teriakan silih bersahutan memekak telinga para tamu. Oliver dan teman-temannya tak berdaya berlutut mengerang, memegangi kepalanya yang terasa mau pecah. Darah mulai merembes keluar dari telinga dan hidung. Oliver tak tahu mengapa itu bisa terjadi, begitu juga dengan Sarah yang menatap ngeri punggung kekar terbalut kemeja hitam itu. Siapa sebenarnya pria itu?

Elf 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang