Bab 6: Latihan Perdana

437 97 4
                                    

Mentari telah naik tinggi ke peraduan. Tidak ada alarm jam weker, tapi secara naluriah otak yang mulai bekerja memaksa anggota gerak lainnya untuk bangun. Pertama-tama kelopak mata. Alisia mengerjap sebentar mengumpulkan kesadaran. Disusul anggota gerak lain seperti tangan dan kaki merenggang.

Puing ingatan semalam memunculkan semburat rona saat ia menoleh ke sisi ranjang yang kosong. Lengannya yang halus meraba sisinya yang acak-acakan. Lantas ia mengintip ke dalam selimut hitam yang kontras dengan kulitnya. Alisia seharunya tidak perlu mengecek kembali keadaannya karena ia tahu, ia telanjang, tapi ia masih belum percaya semalam telah melewatkan pengalaman baru penuh gairah dengan Zac.

Mere menerobos pintu kamarnya. Alisia terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Spontan menaikkan selimut. Malu dilihat dalam keadaan tak berpakaian, tetapi Mere tak memperpanjang dengan mengungkit keingintahuannya tentang malam pertama kedua tuannya. Justru ia bersikap formal seperti biasa. Seolah tidak terjadi apa-apa.

“Putri ingin hamba bawakan sarapan ke kamar atau Putri makan di meja makan?”

“Bawakan kemari saja.”

“Baik. Setelah itu hamba akan menyiapkan mandi Putri.”

“Mere,” panggil Alisia.

Mere berbalik dan menemukan sorot ragu di mata tuannya. Ia menunggu selama Alisia menimang sesuatu.

“Kau tahu di mana Zac, maksudku, Pangeran?” gumam Alisia berserta gugup saat ia memperbaiki kata-katanya.

“Hamba lihat, Pangeran sedang berlatih tanding di sayap kiri.”

“Bisakah kau mengantarku ke sana setelah ini?”

Mere mengembangkan senyum semakin antusias. “Tentu saja Putri.”

***

Alisia belum sepenuhnya menjelajahi seluruh bagian Kastil Noir. Barangkali tidak cukup hanya sehari karena betapa luasnya Kastil Noir. Mungkin nanti, pelan-pelan Alisia akan melihat seluk beluk tempat kediaman Zac. Alisia mengerutkan kening, ia kedengaran seperti sangat antusias dan menginginkan akan tinggal di sini selamanya.

“Kita sudah sampai, Putri.” Perkataan Mere menghentikan pikiran Alisia yang tidak-tidak.

Alisia mengamati sekeliling. Koridor berkelok dan terasa tak berujung, kini berubah menjadi lapangan amat luas.

“Di sinilah, Pangeran sering berlatih tanding.”

“I—itu makhluk apa?”

Alisia mungkin sudah terbiasa dengan tempat ini dan makhluk immortal seperti Zac, tapi ia belum terbiasa dan kaget dengan penampakan monster bertubuh puluhan kaki di depannya.

“Itu naga, Putri. Makhluk penghuni lembah Merosa. Pangeran sering memburunya untuk duel. Oh, lihat Putri! Di atas!”

Mata hijaunya melirik ke mana Mere menunjuk. Kedua sayap hitam membentang menutupi pemandangan langit yang muram. Meliuk membentuk pusaran angin yang hebat di udara. Semburan api naga mengoyak pusaran angin itu, tapi tidak cukup menumbangkannya.
Pemilik sayap itu terbang makin tinggi membelah udara. Menghindari semburan api kedua. Tiba-tiba dari tangannya muncul pedang berkilat perak ditimpa sorot cahaya mentari dari celah rerimbunan pohon. Memancarkan cahaya api, makin memanjang dan sekali kedip pedang itu menebas kepala naga. Jatuh menggelepar di tanah memuncratkan darah hitam, membanjiri lapangan berdebu itu.

“Dari dulu, aku tidak pernah suka darah naga.” Zac terbang rendah dan mendarat. Wajahnya terkena darah naga, sebagian menghitam. Ia mengusapnya dan menjilatnya jijik.

Tanpa ia sadari sejak tadi, Alisia melongo takjub. Pemandangan macam apa yang baru saja Alisia tonton ini? Seperti menonton aksi laga film fantasi, tapi ini jelas bukan film. Justru sebenar-benarnya kenyataan.

Zac memergokinya. Ia tersentak, ketahuan telah lancang menonton latihan Zac tanpa izin pria itu.
Bagaimana ini? Terlintas ide mendorong Mere pergi dari sana. Satu-satunya hal yang Alisia pikirkan, tapi satu perintah yang meluncur tajam dari mulut Zac tidak sanggup Alisia tentang.

“Berhenti!”

Zac terbang rendah dan sedetik kemudian Alisia kaget, pria itu tahu-tahu berdiri di depannya. Cepat sekali pria ini terbang, pikir Alisia ketakutan.

“Tinggalkan kami berdua, Mere,” titah sang Pangeran.

“Baik, Pangeran.”

Alisia mengumpat. Satu-satunya yang dia harapkan sebagai tameng, diusir amat mudah. Apa sebentar lagi nasib buruk akan menghampirinya? Alisia sibuk berkutat dengan pikirannya sampai tidak menyadari bahwa sang Pangeran memangkas jarak hingga tak lagi ada sekat.

“Sedang apa kau kemari?”

“A—aku hanya berjalan-jalan saja. Dan, dan kebetulan aku melihatmu. Jangan salah sangka aku tidak berniat melihatmu. Itu tidak akan pernah terjadi!” Alisia benar-benar panik sampai mengatakan hal yang sama sekali tidak masuk akal.

Zac tersenyum. Ia menariknya lembut ke tengah lapangan, tak memedulikan Alisia yang memekik histeris.

“Ma—mau kau bawa aku ke mana?!”

Tak menggubris, Zac malah berbicara dengan kaki tangannya. “Aldous, siapkan busur dan panah untuk Putri.”

Aldous membungkuk dan mengatakan iya, sebelum ia pergi ke gudang peralatan perang.

Panah? Untuk apa pria dingin ini membutuhkan panah? Alisia berpikiran yang tidak-tidak tentang hal yang mengerikan akan terjadi.

Tak butuh waktu lama Aldous datang dengan apa yang diinginkan pria itu. Zac menerima busur dan panah lantas memaksa Alisia memegangnya.

“Aku akan mengajarimu memanah.”

“A—apa?” Alisia semakin gusar. Ia tak berdaya ketika Zac menempeli punggungnya ketat dan menempatkan posisi busur dan anak panah di depan Alisia. Ia bahkan memperbaiki kaki Alisia untuk penempatan kuda-kuda.

“Kaki harus selebar bahu.” Zac menjelaskan, bibirnya mendayu bahkan sesekali tak sengaja membelai cuping telinga Alisia. Sentuhan kecil itu mampu membuatnya sangat tegang sekaligus mendebarkan. “Perhatikan penempatan tangan kiri pada busur dan tiga jari kanan pada tali busur. Tempatkan bulu angsanya dan jepit. Tarik. Usahakan siku lurus. Jangan kaku, rileks saja. Dekatkan tiga jari yang menarik tali busur pada rahang kanan. Tentukan arah angin. Bagus. Sekarang Lepaskan.”
Panah berhasil menancap pada sebuah apel yang menggantung rendah dari pohonnya.

“Lumayan untuk pemula.”

Alisia mendongak. Zac dapat melihat betapa bahagianya wajah itu di tiap guratnya dan ada setitik kebingungan di sana.

“Bangsa Elf adalah bangsa yang memiliki kehebatan dalam memanah. Mulai sekarang, kau harus belajar memanah dan menguasai ilmu pedang. Aku akan menyuruh pelatih hebat untuk mengajarimu.” Zac menjelaskan, seolah tahu yang Alisia pikirkan.

Lantas Zac melepaskan Alisia dan berkata, “Sekarang lakukan sendiri.”
Alisia mengangguk mantap. Ia melakukan percobaan kedua. Mempraktikkan apa yang baru saja ia hafal dan ia gagal. Bibirnya mencebik. Kecewa akan hasil. Tak menyerah, ia menarik panah untuk percobaan ketiga kali hingga tak terhitung berapa kali ia gagal.

Zac berdiri bersandar pada sebatang pohon berusia ratusan tahun, memperhatikan saksama setiap pergerakan Alisia tanpa berniat untuk memperbaiki letak kesalahan. Zac menaruh semua kepercayaan kepada Alisia bahwa ia bisa melakukannya
Pada percobaan kedua puluh. Anak panah sukses menancap sempurna pada apel bidikannya. Alisia melompat senang sambil berseru, “Aku bisa! Aku bisa!” Puluhan kali.

Barulah Zac mendekat ikut bergabung. Entah dorongan dari mana Zac merengkuh wajah mungil itu, menunduk untuk memberikan kelembutan tiada tara di bibir bak kelopak mawar yang ranum.

Hanya sepersekian detik, tetapi mampu menciptakan gelenyar aneh di dada dan di seluruh tubuh.
Dengan rona merah di wajahnya, Alisia mempertanyakan tindakan impulsif Zac lewat pijaran manik hijau miliknya yang teduh.

“Aku ....” Zac memotong kalimatnya sendiri, sadar bahwa pikirannya melarang untuk meneruskan ucapan. Alisia lagi-lagi dibuat heran akan tingkah Zac yang sulit ia mengerti. Selalu pergi saat situasi menjadi canggung.






Elf 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang