Perpustakaan Kastil Noir sangat mengagumkan. Puluhan rak-rak tinggi berjajar penuh dengan buku-buku tua, tetapi terawat baik. Alisia sampai tidak dapat berhenti membaca. Keinginannya mengetahui tempat di mana ia terlahir begitu besar.
Ia tidak menyangka bahwa dunia Aravages dihuni oleh makhluk immortal berbagai ras. Dibagi ke dalam beberapa wilayah kerajaan yang dipimpin oleh masing-masing bangsa. Jika ada kesempatan, ia ingin mengunjungi bagian Aravages yang lain untuk melihat langsung bagaimana bentuk Warewolf, Vampir, Fairy dan makhluk bawah tanah lainnya. Namun, yang lebih penting tentu saja bangsanya sendiri, Elf.
Diceritakan di dalam kisah yang Alisia baca bahwa bangsa Elf adalah bangsa yang diberkahi kemampuan ilmu pengetahuannya yang tinggi serta didukung oleh keindahan fisik. Elf terlahir sama seperti bayi manusia. Melalui proses sembilan bulan di dalam kandungan dan mengalami pertumbuhan normal. Namun yang membedakan, setelah masa puber pertumbuhan Elf melambat dan mendapatkan keabadiannya. Seiring dengan itu kekuatan dasar Elf akan muncul, yaitu kekuatan cahaya.
Alisia menatap tangannya, lalu ia menggerakkannya ke depan. Tidak terjadi apa pun. Mungkin butuh konsentrasi. Ia memperbaiki posisi duduk. Menegakkan punggung sangat lurus. Memejamkan mata, beberapa kali menghela napas untuk ketenangan pikiran. Sekarang konsentrasi penuh dan ia menunjuk ke arah buku. Selama sedetik, ia menunggu dalam keadaan menutup mata. Namun, masih tidak terjadi apa pun. Ia memutuskan membuka mata dan memang benar tidak terjadi apa pun. Alisia mendesah kecewa.
“Apa yang sedang kaulakukan?”
Alisia terlonjak di tempat. Pria ini kemunculannya sangat menyeramkan. Selalu datang tiba-tiba tanpa suara sedikit pun. Dan lagi-lagi bertelanjang dada dan hanya memakai calana panjang. Seketika pancaran merah menghiasi pipinya kala pria itu berjalan ke tempat duduknya.
“Jawab.” Rendah, tetapi mengancam. Alisia tak sanggup menolak.
“Aku membaca sebuah literatur, bahwa kekuatan dasar Elf adalah cahaya. Yang aku lakukan tadi, aku ingin membuktikan apakah aku bisa mengeluarkan cahaya dari tanganku.”
Untuk pertama kalinya pria itu terkekeh. Meski tidak terbahak, tapi sanggup menghangatkan perasaan Alisia. Orang lain jika melihatnya tidak akan percaya bahwa pria ini dijuluki Pangeran Kegelapan. Justru percis malaikat yang diberkahi cahaya kebaikan.
“Sering-seringlah kau tertawa,” lirih Alisia. Ia menunduk, tak sanggup menatap lurus mata jelaga itu yang menusuknya tajam.
“Mengapa?”
Alisia tak menjawab. Semakin dalam ia menyembunyikan wajah. Teramat malu untuk mengungkapkan isi hatinya.
“Jawab!” Zac menyentuh dagu Alisia dan memaksanya hanya menatap Zac seorang.
“Ka—karena kau tampan saat tertawa.”
Detik berikutnya, jantung Alisia makin norak berdetak. Nyaris menjebol rusuk. Saat sebuah kelembutan menyentuh bibirnya, ciumannya yang pertama, pikiran Alisia tak lagi terkontrol. Ia terlena dan lupa bahwa ia adalah seorang tawanan yang seharusnya membenci pria ini. Pria yang telah merenggut kebahagiaannya, kebahagiaan Greta, kebahagiaan orang tuanya dan mungkin kebahagiaan seluruh makhluk immortal di Aravages.
Namun, sekarang Alisia tidak ingin memikirkan hal itu dan hanya memikirkan pria ini saja.
Zac melepaskan pagutannya dan memandang wajah Alisia tanpa melepas kening mereka yang menyatu. Pualam wajahnya merona parah. Ia memejam sebentar untuk mengatur napas dan kembali terbuka untuk mendapatkan warna lain memancar di seputar tubuh Alisia. Kali ini warna merah muda.Warna yang baru-baru ini diketahui Zac sebagai reaksi dari suasana hati seorang Elf dan jarang ada Elf yang memiliki kespesialan seperti itu.
“Merah muda. Apa yang kau rasakan sekarang?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Elf 🔚
Fantasy"Kita adalah mate. Kau mungkin akan membunuhku, tapi aku tak akan sanggup menyakitimu."