Bab 4: Fallen Angel

431 97 3
                                    

Seorang pelayan memperkenalkan diri bernama Mere. Ia ditugaskan Zac khusus melayani kebutuhan dasar Alisia selama tinggal di Kastil Noir. Termasuk urusan mandi. Setidaknya masih ada hal yang menyenangkan dari bagian kastil mengerikan ini, yaitu sebuah telaga kecil dengan air terjun mini bersumber dari mata air pegunungan. Alisia baru mengetahui bahwa Kastil Noir berdiri tepat di lembah pegunungan Merosa. Karena itulah mengapa airnya sangat menyejukkan.

Ditambah berbagai tanaman bunga sengaja ditanam di sekitar telaga, bukan sebagai hiasan, melainkan aromaterapi. Bagaimana Alisia tidak senang, ia bisa menghabiskan banyak waktu untuk menenangkan diri dan menelaah semua kenyataan mengejutkan yang ia alami dalam waktu sangat singkat di sana selagi mandi.

Sudah satu minggu ia tinggal di kastil milik pria menakutkan itu, selama itulah perlahan Alisia menyusun kepingan puzzle dan menautkan informasi-informasi yang baginya di luar akal pikiran.

Sampai sekarang, ia masih belum percaya bahwa ia bukanlah manusia, melainkan seorang Elf! Namun semua menjadi masuk akal, melihat dirinya yang berbeda ketimbang manusia. Kecantikan yang tidak manusiawi miliknya adalah kecantikan khas bangsa Elf. Kalau begitu apakah dia memiliki kekuatan cahaya?

Banyak literatur di perpustakaan mengenai dunia Aravages, Mere yang mengatakannya. Alisia pernah bertanya, apakah ia boleh ke sana untuk mencari tahu segala hal tentang dunia yang ia tinggali ini, Mere tidak tahu. Dia menyarankan Alisia untuk menanyakannya langsung kepada Pangeran Zac. Bagaimana ia bisa bertanya kepadanya langsung, jika Zac sedang pergi entah ke mana.
Greta sudah mengungkapkan semua kebenaran. Menyedihkan mengetahui Greta bukanlah ibu kandungnya. Namun yang lebih menyedihkan lagi, Pangeran Kegelapan telah memerangi Klan Alexi—klan di mana ia dilahirkan—hanya untuk membunuhnya demi membatalkan sebuah ramalan bahwa Alisia satu-satunya yang ditakdirkan untuk membunuh Pangeran Kegelapan. Untuk itulah Greta atas perintah orang tuanya, membawanya ke dunia manusia untuk menghindari kejaran Pangeran Kegelapan.

Tangan rapuh ini, Alisia mengamati jemarinya sendiri, mana bisa membunuh pria itu yang jauh lebih kejam dan berbahaya darinya? Ramalan itu pasti omong kosong.
Bagaimana nasib kedua orang tuanya? Alisia berkaca-kaca. Apa mereka masih hidup setelah peperangan besar itu? Pasti tidak. Pria itu tidak mungkin membiarkan mereka hidup.

“Apa yang sedang kaupikirkan?”

Alisia menegang, tiba-tiba mendengar suara bariton yang dalam seminggu ini tidak Alisia dengar lagi. Ia refleks mencengkeram ujung kain tipis yang basah, yang menjadi satu-satunya pertahanan tubuhnya. Sedetik kemudian, bukannya takut yang mendominasi, melainkan kekaguman terhadap keindahan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Pria itu memiliki kedua sayap hitam yang besar terentang menakjubkan di punggungnya. Apa dia seorang malaikat?

“Kau memiliki sayap?” Alisia bertanya tanpa sadar.

“Aku seorang Fallen Angel yang dikutuk untuk menanggung seluruh kegelapan di dunia Aravages.”

“Kau terlihat indah dan tidak berbahaya.” Dengan berani, Alisia menatap keseluruhan tubuh Zac yang bertelanjang dada dan hanya memakai celana hitam panjang. Ia memiliki kulit tembaga yang maskulin dan otot biseps yang kekar. Serta perutnya ... indah. Seperti model pria dewasa yang sering terpampang di majalah dewasa. Dia sempurna. Berhenti, Alis! Mengapa pikiranmu jadi ke mana-mana?! Dan berhenti untuk berdebar! Jantungmu sungguh norak.

Alis Zac terangkat melihat gadis Elf itu menunduk malu, menyembunyikan wajah semerah tomat amat jelas, meski Zac berdiri agak berjarak.

Zac lantas menyeringai keji. “Kau akan menyesali kata-katamu setelah melihatku membunuh.”

Tubuh Alisia bergetar. Mengapa ia melupakan fakta bahwa pria di depannya adalah seorang Pangeran Kegelapan yang sangat kejam dan tidak memiliki belas kasih. Ia bahkan tanpa segan menyiksa ibu asuhnya di depan mata Alisia langsung. Hanya dengan menatap Greta tepat di matanya, Greta menjerit kesakitan memegangi kepalanya dan menggelepar seperti ikan tak berdaya.

“Apa kau juga melakukan hal yang sama kepada orang tuaku? Apa kau membunuh mereka juga?” Air mata Alisia mendesak keluar. Ia sudah tak sanggup lagi menahannya lebih lama.

“Kau tenang saja, mereka berada jauh dari sini dan hidup. Tepatnya di pulau terpencil bernama Gord, tempat penjahat perang dipenjara.”

“Apa kau menyiksa mereka?”

“Ya, jika aku sedang marah.”

Bibir merekah itu bergetar hebat. Seluruh kesedihan menggumpal di dada. Jika tidak dilepaskan, dadanya akan semakin sakit menahan sesak yang menyakitkan. “Ke—napa kau begitu sangat kejam? Apa salah mereka?!”

Zac menyipit, melihat tubuh gadis itu memancarkan warna hitam. Samar, tetapi cukup mampu untuk Zac lihat. Lantas suasana yang biasa saja, berubah cepat menjadi muram dan menyedihkan seiring tetes air mata yang dikeluarkan mata indah itu.

Apa Zac melewatkan sesuatu yang penting mengenai bangsa Elf? Namun ia yakin sekali fenomena ini tidak pernah dialami Elf mana pun. Zac sudah mempelajari banyak hal mengenai seluruh makhluk immortal di Aravagez selama hidupnya yang ribuan tahun. Termasuk kelemahan maupun kekuatan tiap makhluk yang berbeda dan beragam. Namun, baru kali ini Zac menemukan fenomena aneh dan langka terjadi pada Elf satu ini. Ia harus mencari tahu.

“Karena mereka menyembunyikanmu dariku.”

Alisia mendongak. Ia berhenti terisak dan kali ini berani menatap Zac lagi dengan bingung. Namun, Zac tidak memiliki keinginan untuk menjelaskannya.

“Tiga hari dari sekarang, pernikahan kita akan terlaksana.” Sayap Zac menghilang menjadi serpihan, lalu menyusup ke punggungnya. Membalik badan, ia melangkah menjauh.

“Tu—tunggu!”

Langkah Zac stagnan.

“Bukankah harusnya kau membunuhku? Aku adalah takdir kematianmu. Mengapa kau malah ingin menikahiku?”

Zac menelengkan kepala, memberikan seringai yang mampu membuat seluruh tubuh Alisia makin kedinginan. Berapa lama ia berendam? Ia harusnya mentas sekarang karena tangannya sudah memutih dan keriput. Namun, tak mungkin ia melakukannya di depan pria itu. Semburat merah yang hangat ia rasakan di pipi. Ia belum pernah memamerkan tubuhnya yang polos kepada siapa pun dan sekarang ia tak ingin pria itu yang menjadi pertama.

“Apa aku mendapatkan undangan untuk bergabung denganmu? Karena kurasa kita memiliki banyak hal yang harus kita luruskan supaya kau tidak kebingungan.”

Makin merahlah wajah Alisia. Mungkin pria itu berkata dengan wajah datar, tapi ucapannya terdengar seperti rayuan mematikan. Alisia menggeleng malu. “Tapi bukan di sini.”

Zac tersenyum. “Baiklah, kita bisa bicara lain kali.”

“A—apa aku boleh membaca buku di perpustakaan?” Alisia buru-buru bertanya saat melihat pria itu akan pergi.

“Kau boleh melakukan apa pun di kastil ini, kecuali melarikan diri.” Pria itu melangkah, tapi berhenti lagi. “Karena kita mate, Alis. Kita mate, camkan itu Alis.” Setelah mengatakan itu, pembicaraan mereka berakhir.



Elf 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang