"Jian! Jian! Jangan lari lari" aku sedang mewanti wanti anak dari bos ku tersebut, sulitnya menjaga seorang anak laki laki yang masih berusia 7 tahun ini benar benar membuat aku kewalahan.Jian tidak lagi berlari kini ia mendekat padaku dan meminta air minum yang aku bawa, sebagai pengasuh anak tersebut, aku bisa merasakan bagaimana saat anak itu dilepas dihalaman rumah dan merasakan apa yang ingin ia teriakkan dan melakukan apa yang ia senangi, tanpa bayang bayang ayahnya yang terus menerus menyuruhnya belajar dibawah pengawasanku.
Pak juan, ayah dari anak laki laki yang sekarang sedang mandi dikamar mandinya ini sudah datang dari tempat kerjanya.
Aku mengintip keluar kamar jian yang mana langsung berhadapan dengan ruang keluarga, jian menaiki kasurnya siap untuk tidur. Aku tersenyum pada pak juan, dan melihat apa yang dibawa lelaki itu pulang, merasa tidak punya hak untuk bertanya apapun pada pak juan, aku hanya diam melewatinya lalu membereskan barang barang ku untuk pulang kerumah.
"Pengasuh Yn" aku terkejut bukan main ini sudah ke 10 kali dan 1 tahun 6 bulan aku bekerja disini mengasuh anaknya ia memanggil aku seperti itu. Biasanya hanya memanggil dengan kata 'eh'.
Aku mendekat, sedikit membungkukkan tubuhku "iya pak?" Jawabku pelan
Pak juan menengok, lalu memberikan ku sebuah gulungan kertas, aku membukanya cepat takut itu adalah surat pemecatan. Ternyata tidak ini adalah sebuah undangan dengan nama mempelai wanita dan lelaki yang sangat membuat aku terkejut.
Herra anastasya & dimas samudra
Aku menoleh pada pak juan yang sedari tadi sepertinya menunggu reaksiku, aku cepat cepat membuang wajah lagi karena tidak sanggup menatap wajah pak juan "saya bingung, harus pergi atau tidak, walau sudah melupakan tapi sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar bersama herra, sekarang dia akan menikah dengan sahabat saya" aku tau setiap ucapan dari pak juan adalah kata kata yang menyakitkan baginya.
Hhh, lelaki setampan, semapan, sebaik pak juan saja masih bisa ditinggal, aku bahkan sempat bingung kenapa ibu herra malah memilih sahabatnya pak juan, "hh sudah saya putuskan, untuk pergi, bagaimana pun herra adalah ibunya jian dan dimas adalah sahabat saya" aku benar benar menatap kagum pak juan yang dengan lapang dada menerima semua yang terjadi didalam hidupnya. "Kamu ikut saya ya?"
...
Aku termenung didalam mobil mewah pak juan, aku duduk disamping tubuh pak juan yang mengenakan jas yang rapi senada dengan jas jian dan aku menggunakan sebuah dress selutut berwana putih.
Sedari tadi, setelah sampai digedung acara, aku menatap pak juan yang terus memegangi dadanya dengan tangan yang bergetar, rasa traumanya sepertinya datang kembali.
Aku berinisiatif mengambil tangan pak juan dan menggenggamnya walau ini terlalu lancang, pak juan tersenyum menaruh tangan kanannya diatas tangan kanan ku, "tidak apa apa, bapak sudah sekuat ini tidak boleh runtuh" aku tersenyum begitu juga pak juan yang mengangguk.
Kami bertiga memasuki gedung tersebut dan saat ingin naik kepanggung, aku tetap diam memperhatikan apa yang akan dilakukan pak juan saat berhadapaan dengan mantan istrinya, jian memalingkan wajahnya, bahkan tidak ingin dipeluk ibunya, aku melihat semuanya bagaimana pak juan memeluk pak dimas sahabatnya, dan bagaimana pak juan memberikan selamat pada ibu herra.
Saat turun dari panggung pak juan langsung menghampiri aku dan menggengam tangan ku, bisa ku rasakan bagaimana dinginnya tangan itu dan keringat dingin yang membasahi pelipisnya.