chapter 10.

3.4K 446 91
                                    

⚠️trigger warning: violent act, harsh word⚠️

Jawa Tengah
14 Agustus 1945 - 14.00

Merdeka, satu kata berjuta harapan. Satu kata yang sedang diupayakan. Menyumbang duka, lara, keringat, hingga darah demi terbebasnya negara dari belenggu penjarah. Seluruh negara ingin mandiri, berdiri kokoh bersama rakyat yang memiliki tujuan yang sama, bukan dibawah kendali tirani. Makan tak enak tidur tak nyenyak hidup dipenuhi ketakutan.

Bayangkan negara ini merdeka. Bekerja dengan ikhlas, dibayar sesuai keringat yang dikeluarkan. Berjalan pulang dengan santai tanpa takut akan senjata tajam mleset menembus jantung. Anak istri di rumah tengah menunggu sembari menyiapkan hidangan sederhana. Begitu bahagia.

Namun bagi Prajurit Jaehyuk kilasan diatas hanya halusinasi semata.

Seluruh tubuhnya sakit, napasnya pendek akibat dadanya diikat kuat. Tangan dan kakinya perih mengeluarkan darah sebab pengikatnya hanya seutas kawat bekas. Pandangannya memburam, hanya satu mata yang bisa membuka lebar yang satunya biru bengkak. Disaat seperti ini Jaehyuk menjadi takut, takut tidak bisa pulang. Wajah Asahi dan anaknya bahagia dalam pikirannya.

"Dia sudah sadar, Letnan."

Samar, Indra pendengarnya menangkap suara ramai disekitar. Gema langkah kaki berdengung terus menerus dihasilkan oleh sepatu berat khas milik anggota militer.

Detik kemudian netra buramnya menangkap sosok telah hadir dihadapan. Tersenyum congkak penuh ejekan.

Cuih!

Tanpa rasa gentar Jaehyuk menyemburkan ludah tepat di wajah. Memandang sosok itu penuh jijik, seakan harga diri manusia dihadapannya setara dengan air ludah yang menyentuh tanah.

"KEPARAT!"

Bugh! Bugh! Bugh!

Tiga kali bogem mentah dilayangkan. Sejenak telinganya berdenging, bibirnya, hidungnya dapat mengecap darah segar keluar dari setiap sudut wajahnya. Kesadarannya hampir hilang kembali sebelum sekujur tubuh lelahnya disiram air dingin, seolah nyawanya ditarik kembali dalam realita menyakitkan, tak diperbolehkan pergi dengan mudah.

Kelopak mata Jaehyuk mengerjap kesusahan. Tetesan air membuat lukanya semakin perih. Saat netranya mulai menangkap jelas sosok di depannya begitulah tawanya muncul. Mana sangka pria paruh baya ini adalah mertuanya, apa masih bisa dibilang begitu?

"Otousan?" Sapanya enteng namun dengan nada meremehkan.

"Siapa kau memanggilku Ayah bajingan tengik!"

Rambut basah itu ditarik kebelakang agar empunya mendongak sempurna. Kedua maniknya bersitatap dengan milik sang Letnan. Ditatap penuh intimidasi seperti itu menurutnya tidak menyeramkan. Jiwa ketakutannya telah hilang. Dibanding rasa takut, Jaehyuk harus berpikir bagaimana dirinya bertahan sampai bala bantuan yang dijanjikan Koh Adoy segera datang sebelum nyawanya direnggut.

"Ayah, mana terima kasihmu? Anakmu kujaga dengan baik, Akhㅡ"

"ㅡCucumu tumbuh dengan baik."

Mendengar penuturan Jaehyuk, Letnan Hamada sedikit melonggarkan eratannya. Cukup tertegun mendengar anak semata wayangnya dan apa? Cucunya sudah lahir?. Kalau boleh jujur Letnan Hamada hanyalah sosok ayah tunggal yang amat menyayangi anaknya. Dipisahkan begini juga membuatnya terpukul, ada rasa rindu menyeruak di dada.

"Hahaha..."

Rambut Jaehyuk kembali ditarik. Tawa Jaehyuk kembali menggelegar, tau sudah dirinya bahwa sekejam apapun Letnan Hamada jika dihadapkan dengan nama sosok putra akan lemah jua.

1942 / jaesahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang