chapter 04.

2.6K 446 62
                                    

Siang hari, suara lonceng terdengar dari arah menara jaga tanda kegiatan pembelajaran usai. Suaranya memekikkan telinga hingga desa terdekat dapat mendengarnya. Detik kemudian, riuh para siswa terdengar bahagia saat berhasil keluar kelas gayanya sudah seperti napi yang baru bebas dari dalam penjara. Beberapa dari mereka berlari keluar saat nampak kedua orang tuanya sudah merentangkan tangan menyambut buah hatinya. Suasana hari pertama sangat ramai meskipun murid yang diterima terhitung sedikit, hal ini disebabkan adanya mobil dan delman telah parkir berurutan menunggu tuannya untuk di jemput. 

Sosok Asahi berdiri mematung di ujung koridor. Netranya terpaku menatap gerbang sekolah, memperhatikan betapa hangatnya sebuah ikatan keluarga. Bagaimana sang ibu memakai kebaya mahal dipadu dandanan yang ayu sedang mencium sang anak. Bagaimana kepala keluarga berdiri dengan senyum kebapakan menatap anaknya penuh bangga. Asahi merindukan moment itu, Asahi merindukan perasaan itu hadir kembali di hatinya. 

Terlalu larut dalam lamunannya, tiba-tiba bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. Maniknya menangkap lelaki aneh yang ditemuinya dengan keadaan yang aneh pula. Si lelaki di luar kelas, lelaki yang hanya bisa dia lihat melalui jendela. Entah mengapa hanya dengan memandang rupanya membuat Asahi bahagia. Masih teringat dalam bayangnya bagaimana sosok yang mengaku sebagai Djaelani itu tersenyum lembut padanya, salah satu senyuman terbaik yang pernah Ia lihat setelah milik ibunya. Semburat merah lagi-lagi menampakkan diri pada permukaan pipi pucat milik Asahi saat matanya bertemu dengan milik sosok di sebrang sana. Djaelani berdiri disampin pos penjaga, dirinya mengambil sepeda yang penuh dengan karat lalu menyapa Asahi sebentar sebelum pergi dari area sekolah.

"Hamada-Kun?" Asahi berjengit saat seseorang menepuk pundaknya. 

Asahi menampilkan mata memincing melihat Mashiho dan Kanemoto Sensei dengan tidak malunya menebar kemesraan. Lengan berotot milik Kanemoto Sensei telah melingkar posesif pada pinggang kurus milik Mashiho.

"Kalian sudah kembali baik?" 

Mashiho tentu mengiyakan dengan malu-malu. Asahi melihatnya jengah. Bagaimana jika seluruh murid tahu tentang hubungan tabu ini. Entahlah, Asahi mungkin hanya cemburu.

"Mari kita pulang, Kapten Keita sudah datang." Putus Kanemoto Sensei saat melihat mobil kenegaraan memasuki area dalam sekolah. 

Di dalam mobil, Asahi lagi-lagi termenung. Pandangannya Ia alihkan keluar jendela menatap gedung-gedung tua bergaya Belanda yang cat nya sudah mulai pudar. Jauh dalam pikirannya, Asahi masih penasaran dengan sosok Djaelani. Sosok yang Ia duga sebagai matenya. Apakah Djaelani juga bisa mencium aromanya? Bagaimana pemuda itu bisa dengan tenang melempar senyum padanya? Apa tidak pusing dan mual sedangkan dirinya sendiri sudah ingin pingsan selama pelajaran berlangsung.

'Siapakah gerangan kau Djaelani. Wajah rupawanmu begitu memikatku, bahkan aku tidak sama sekali tertarik pada salah satu anak pejabat. Bagaimana sosokmu begitu menawan walau hanya dibalut celana putih selutut dan kemeja lusuh yang kuyakini sudah tak layak pakai.'

Lamunan Asahi sekali lagi dibuyarkan keadaan. Mobil yang dikendarainya setika diberhentikan mendadak. Asahi begitu jelas mendengar Kapten Keita mengumpati alasan yang mengganggu jalanan. 

"Ada masalah?" Mashiho bertanya khawatir pada Kapten Keita yang masih menggerutu kesal. 

Asahi menengok ke arah Mashiho sebentar sebelum pandangannya Ia arahkan ke depan. Hanya keramaian yang bisa dilihat. Bagian depan mobil telah tertutup punggung segerombolan pribumi. Asahi memperhatikan lamat, punggung-punggung itu bergetar nampak ketakutan di balik baju yang telah koyak. 

Skenario menakutkan terputar saat salah satu pria paru baya terlempar dari tengah hingga membelah gerombolan yang menutupi kaca mobil. Bisa dilihat bahwa terbentu binar ketakutan disana. Barang-barang dilempar paksa, beberapa gerobak telah hancur terguling, kertas koran berceceran di lantai. Parahnya lagi banyak pria yang wajahnya telah berantakan berlumur darah. Asahi lebih terkejut, fakta di depannya adalah kelakuan tentara Jepang. 

1942 / jaesahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang